Visitors

Kamis, 30 November 2017

BINTANG

Ada sedikit cerita tentang kamu yang suka datang dan pergi begitu saja. Kuanggap saja pesan singkatmu itu tak sampai walaupun kamu sudah mengirimnya berulang kali. Aku ingat suatu malam kau berkata kepadaku “Bukannya sudah ada aku yang selalu ada untukmu?”
Kau masih saja suka berjalan sambil bersenandung kecil ketika kugumam lirih dibalik pundakmu “Benar sudah ada kamu yang selalu datang dan menghilang dari hidupku.”
“Apa?” tanyamu sambil berbalik menatapku.
Kuputar bola mataku dan kuberikan senyumanku kepadamu. Kamu yang katanya selalu ada untukku. Kamu yang saat ini sedang ada untukku. “Kamu tahu ada berapa banyak bintang di angkasa?”
“Tak terhingga. Ada apa?”
“Aku berharap kamu salah satu dari mereka.” Aku tidak berani menatap mata tajammu saat kuucapkan keiginanku itu.
“Kenapa harus bintang? Masih banyak benda yang bersinar lainnya yang dapat menyinari hari-harimu. Matahari misalnya.”
“Kamu menganggap dirimu matahari? Baiklah.” Aku berjalan mendahuluimu.
“Ada apa?”
“Aku maunya kamu jadi bintang, bukan matahari.”
“Yaudah kalau itu maumu.” Kamu menyamai langkahku yang sedikit pelan karena lelah. “Tapi jangan salahkan aku kalau aku menghilang suatu malam.”
“Tidak ada definisi bintang seperti itu.” Aku marah. Bukan karena pendapatmu mengenai bintang yang salah, tetapi karena keputusanmu menjadi bintang yang salah.
Kamu menatapku dengan pandangan tidak mengerti. Ya, pandangan yang selalu kau berikan kepadaku ketika aku mulai menggumam hal yang tidak jelas menurutmu. “Ah, kamu memang sulit dimengerti.” Kembali kamu pakai headsetmu dan mulai memainkan ponsel bodohmu itu sambil berjalan mendahuluiku. “Ayo cepat.”
“Duluan saja, aku ingin berjalan ditemani bintang bukan kamu.” Aku diam mematung dan menunggumu menoleh untuk melihatku.
Dan tidak menoleh sama sekali.
Kamu berjalan mundur dan berdiri disampingku. “Halo, aku bintang.” Kamu mengulurkan tanganmu dan mengajakku berkenalan.
Aku tidak tahu bagaimana harus menanggapi sikapmu. Kusambut uluran tanganmu dan kugandeng kamu berjalan menghabiskan sisa jalanan yang hampir sampai di ujung. Jika hari ini kamu memperkenalkan dirimu sebagai bintang, maka saat itu juga aku ingin menggenggammu tanganmu dengan erat karena jika kamu benar-benar menjadi bintang kamu tidak akan seenaknya datang dan pergi begitu saja. “Hai bintang..”
Kamu mulai bersenandung kecil dan membiarkan tanganmu digandeng olehku. Aku dan kamu mulai berjalan dalam diam dengan sesekali percikan sandalmu membahasi mata kakiku.
“Ayo kita berjalan seperti ini.” Kataku.
“Aku capek.”
“Kamu kan bintang. Kamu tidak mungkin capek. Aku yang justru capek.”
“Nanti aku gendong.”
Aku tertawa. “Bintang, kamu tidak perlu menggendongku. Kamu hanya perlu menemaniku dan jangan pergi.”
“Siap!”
“Minggu depan kamu kemana?”
“Kenapa memangnya?”
“Tidak, hanya bertanya.”
Kita berpisah malam itu dan kamu benar-benar menjadi bintang. “Kamu mau kemana malam ini?” Tanyamu di telepon.
“Tidur.”
“Jangan, ayo ikut aku.” Rayumu.
“Kemana?”
“Ke angkasa. Aku menjadi bintang jaga malam ini.”
“Apa yang harus kamu jaga?”
“Kamu.” Sahutmu singkat.
Aku terdiam lama di telepon. Menunggu responmu selanjutnya. “Aku capek kalau harus memandangmu dari atas sini, jadi kuajak kamu saja.” Lanjutmu.
“Jadi kamu capek menjagaku?” tantangku. Aku mulai marah, entah mengapa aku menjadi sering emosi akhir-akhir ini. Aku lebih memilih untuk mendiamkanmu tetapi selalu saja senyum manismu membuatku lupa.
“Tidak bukan begitu. Aku hanya ingin dekat saja denganmu.”
“Minggu depan kamu kemana?” tanyaku sekali lagi.
“Kenapa memangnya?”
“Tidak, hanya bertanya.”
“Pergi mungkin.”
“Hahaha.. kamu tidak bisa menjadi bintang.” Balasku singkat.
“Mengapa?”
“Sudah kukatakan kepadamu. Bintang itu selalu ada, dia tidak datang dan pergi sesuka hati. Jika kamu memang sanggup menjadi bintang, tetaplah menjadi bintang. Aku hanya ingin kamu selalu ada dan tidak pergi tiba-tiba. Malam ini kamu bisa menjadi bintangku dan menemaniku sepanjang malam, tapi bukan berarti saat siang nanti kamu menghilang begitu saja. Kamu harus selalu ada untuk mendukung aku. Karena kamu bintangku. Tapi tidak apa-apa, sudah kukatakan kamu tidak bisa menjadi bintang. Jadilah kamu sebagai dirimu. Aku sudah senang.”
“Tapi memang bintang selalu ada untuk malam dan bukan siang. Dan kamu itu malam.” Sahutmu.
“Aku tidak mengerti.”
“Aku tetaplah bintang menurut versiku dan juga sebagai matahari untuk siang. Selamat malam, malamku.”
“Selamat malam.” Telepon ditutup.

-mth