Ada
sedikit cerita tentang kamu yang suka datang dan pergi begitu saja. Kuanggap
saja pesan singkatmu itu tak sampai walaupun kamu sudah mengirimnya berulang
kali. Aku ingat suatu malam kau berkata kepadaku “Bukannya sudah ada aku yang
selalu ada untukmu?”
Kau
masih saja suka berjalan sambil bersenandung kecil ketika kugumam lirih dibalik
pundakmu “Benar sudah ada kamu yang selalu datang dan menghilang dari hidupku.”
“Apa?”
tanyamu sambil berbalik menatapku.
Kuputar
bola mataku dan kuberikan senyumanku kepadamu. Kamu yang katanya selalu ada
untukku. Kamu yang saat ini sedang ada untukku. “Kamu tahu ada berapa banyak
bintang di angkasa?”
“Tak
terhingga. Ada apa?”
“Aku
berharap kamu salah satu dari mereka.” Aku tidak berani menatap mata tajammu
saat kuucapkan keiginanku itu.
“Kenapa
harus bintang? Masih banyak benda yang bersinar lainnya yang dapat menyinari
hari-harimu. Matahari misalnya.”
“Kamu
menganggap dirimu matahari? Baiklah.” Aku berjalan mendahuluimu.
“Ada
apa?”
“Aku
maunya kamu jadi bintang, bukan matahari.”
“Yaudah
kalau itu maumu.” Kamu menyamai langkahku yang sedikit pelan karena lelah. “Tapi
jangan salahkan aku kalau aku menghilang suatu malam.”
“Tidak
ada definisi bintang seperti itu.” Aku marah. Bukan karena pendapatmu mengenai
bintang yang salah, tetapi karena keputusanmu menjadi bintang yang salah.
Kamu
menatapku dengan pandangan tidak mengerti. Ya, pandangan yang selalu kau
berikan kepadaku ketika aku mulai menggumam hal yang tidak jelas menurutmu. “Ah,
kamu memang sulit dimengerti.” Kembali kamu pakai headsetmu dan mulai memainkan
ponsel bodohmu itu sambil berjalan mendahuluiku. “Ayo cepat.”
“Duluan
saja, aku ingin berjalan ditemani bintang bukan kamu.” Aku diam mematung dan
menunggumu menoleh untuk melihatku.
Dan
tidak menoleh sama sekali.
Kamu
berjalan mundur dan berdiri disampingku. “Halo, aku bintang.” Kamu mengulurkan
tanganmu dan mengajakku berkenalan.
Aku
tidak tahu bagaimana harus menanggapi sikapmu. Kusambut uluran tanganmu dan
kugandeng kamu berjalan menghabiskan sisa jalanan yang hampir sampai di ujung. Jika
hari ini kamu memperkenalkan dirimu sebagai bintang, maka saat itu juga aku
ingin menggenggammu tanganmu dengan erat karena jika kamu benar-benar menjadi
bintang kamu tidak akan seenaknya datang dan pergi begitu saja. “Hai bintang..”
Kamu
mulai bersenandung kecil dan membiarkan tanganmu digandeng olehku. Aku dan kamu
mulai berjalan dalam diam dengan sesekali percikan sandalmu membahasi mata
kakiku.
“Ayo
kita berjalan seperti ini.” Kataku.
“Aku
capek.”
“Kamu
kan bintang. Kamu tidak mungkin capek. Aku yang justru capek.”
“Nanti
aku gendong.”
Aku
tertawa. “Bintang, kamu tidak perlu menggendongku. Kamu hanya perlu menemaniku
dan jangan pergi.”
“Siap!”
“Minggu
depan kamu kemana?”
“Kenapa
memangnya?”
“Tidak,
hanya bertanya.”
Kita
berpisah malam itu dan kamu benar-benar menjadi bintang. “Kamu mau kemana malam
ini?” Tanyamu di telepon.
“Tidur.”
“Jangan,
ayo ikut aku.” Rayumu.
“Kemana?”
“Ke
angkasa. Aku menjadi bintang jaga malam ini.”
“Apa
yang harus kamu jaga?”
“Kamu.”
Sahutmu singkat.
Aku
terdiam lama di telepon. Menunggu responmu selanjutnya. “Aku capek kalau harus
memandangmu dari atas sini, jadi kuajak kamu saja.” Lanjutmu.
“Jadi
kamu capek menjagaku?” tantangku. Aku mulai marah, entah mengapa aku menjadi
sering emosi akhir-akhir ini. Aku lebih memilih untuk mendiamkanmu tetapi
selalu saja senyum manismu membuatku lupa.
“Tidak
bukan begitu. Aku hanya ingin dekat saja denganmu.”
“Minggu
depan kamu kemana?” tanyaku sekali lagi.
“Kenapa
memangnya?”
“Tidak,
hanya bertanya.”
“Pergi
mungkin.”
“Hahaha..
kamu tidak bisa menjadi bintang.” Balasku singkat.
“Mengapa?”
“Sudah
kukatakan kepadamu. Bintang itu selalu ada, dia tidak datang dan pergi sesuka
hati. Jika kamu memang sanggup menjadi bintang, tetaplah menjadi bintang. Aku hanya
ingin kamu selalu ada dan tidak pergi tiba-tiba. Malam ini kamu bisa menjadi
bintangku dan menemaniku sepanjang malam, tapi bukan berarti saat siang nanti
kamu menghilang begitu saja. Kamu harus selalu ada untuk mendukung aku. Karena kamu
bintangku. Tapi tidak apa-apa, sudah kukatakan kamu tidak bisa menjadi bintang.
Jadilah kamu sebagai dirimu. Aku sudah senang.”
“Tapi
memang bintang selalu ada untuk malam dan bukan siang. Dan kamu itu malam.” Sahutmu.
“Aku
tidak mengerti.”
“Aku
tetaplah bintang menurut versiku dan juga sebagai matahari untuk siang. Selamat
malam, malamku.”
“Selamat
malam.” Telepon ditutup.
-mth