“Terkadang cinta
membutuhkan pengorbanan, walaupun berat rasanya. Tetapi melihat seseorang yang
kita sayangi bahagia adalah kebahagiaan kita sesungguhnya”
Minggu pagi dibulan Juli. Kehangatan
mentari pagi membuatku tak bisa berhenti menengadahkan muka ke arah datangnya
sinar. Embun masih sedikit tersisa di dedaunan yang rimbun. Bunga-bunga
bermekaran diiringi kicauan burung. Ini masih pagi kawan, pagi yang indah.
Entah ada apa yang terjadi di siang atau malam nanti. Tapi aku suka pagi ini.
Kriiiiing... bunyi ponselku memecah kesyahduan hatiku. Aku mulai
jenuh dengan kepenatan ini, aku perlu kedamaian. Aku masih mengacuhkan bunyi
ponselku. Aku masih saja terbuai oleh indahnya pagi. Aku tidak ingin
memperdulikan siapa yang berusaha menghubungiku. Ingin rasanya kubanting ponselku
dan tak ada lagi hal yang menggangguku. Namun kakek tua yang duduk di
seberangku segera mengagetkanku dengan amarahnya. Aku dikira tuli karena tidak
mengangkat dering ponsel yang memekakan telinga dan berbunyi berulang kali.
Segera aku meminta maaf kepada kakek tua itu dan mencari ponselku yang
tersembunyi di dalam ranselku beserta barang-barang tak berguna lainnya. “Ah
ini dia!” batinku. Kulihat pada layar ponselku 23 missed call. Aku penasaran, siapa orang yang menghubungi aku
sekian banyaknya di hari yang masih pagi ini.
George.
Aku benar-benar tidak percaya. Lelaki blasteran
Inggris ini menghubungiku hingga 23 kali. Lelaki ini pernah menjadi spesial
untukku, yah sekitar 7 tahun. Semenjak aku diterima di Universitas Kedokteran UGM laki-laki itu menjadi seniorku. George
dulu sering mengerjaiku sampai aku ingin menangis karena ketakutan. Namun
karena dia baik maka kami berteman. Kami menjadi dekat dan kami menjalin ikatan
cinta selama 7 tahun sebelum akhirnya dia meninggalkanku bersama wanita yang
dikenalkan oleh ibunya dan pindah ke Bali menyusul wanita itu. Aku hancur pada
saat itu, selama 3 bulan tiap malam aku menangis. Fotoku bersamanya yang selama
7 tahun setia menghiasi dinding kamarku hancur berkeping-keping dalam satu
malam. Bagaimana bisa George tega meninggalkan aku yang telah 7 tahun
bersamanya untuk wanita yang dijodohkan oleh ibunya bahkan dia sendiri tidak
tau siapa dan bagaimana sifat wanita itu. Terakhir kali George tidak memberi
penjelasan apapun. Langsung pergi tanpa pamit. Aku kalut. Kedua orangtuaku yang
sedang di New York turut menghubungiku.
Aku tidak tahu darimana mereka mengetahui aku seperti itu. Mungkin dari Aliesha
sahabatku yang selalu menjadi teman curhatku sekaligus teman masa kacilku atau
bisa dari Mbok Min yang sering ketakutan melihatku seperti orang gila saat itu.
Aku tidak tahu. Dan sekarang George kembali menghubungiku. Aku bimbang dan
penasaran. Untuk apa lelaki itu menghubungiku? Ingin kembali kepadaku? Untuk
beberapa saat aku diserang perdebatan oleh batinku sendiri. Dan, rasa
penasarankulah yang menang. Aku menghubungi
George balik, untuk sesaat nada sambung berbunyi.
“Clarissa?”
suara itu tidak asing ditelingaku. Mulutku terasa kaku untuk menjawab
panggilannya. Untuk sekali setelah sekitar 2 tahun aku tidak berhubungan
dengannya. Dia masih memanggilku Clarissa. Nama sapaan sayangnya dulu. Dan
sekarang aku berbicara dengannya. “Clarissa, ini aku George. Kamu sudah lupa?
Hallo?”
Cukup
lama aku terdiam sampai aku sadar aku harus menjawabnya. “Oh hai George. Maaf,
kamu masih memanggilku dengan nama itu?” hati-hati aku berbicara dengannya.
Takut bila dia mendengarkan suaraku yang ingin menangis karena rindu yang
teramat dalam.
“Oh
maaf. Hai, Anne.” Terdengar suara kaku dan asing darinya. Dia belum terbiasa.
Belum.
“Hai.”
Aku mencoba friendly. “Ada perlu apa
George?”
“Aku
ingin bertemu denganmu. Aku rindu denganmu. Aku sedang di Jogja Anne.”
Kata-kata yang langsung terucap dari mulut George tanpa basa-basi itu membuatku
terbelalak. Aku tidak tahu harus berkata apa lagi.
“Tolong
Anne, aku tahu kamu masih marah denganku. Tapi aku benar-benar membutuhkanku.
Aku akan menunggumu siang ini di tempat biasa kita dulu. Tolong Anne datanglah.
Sore nanti aku sudah kembali ke Bali. Tolong Anne..” Telepon terputus begitu
saja. Aku masih diam. Aku belum bisa berfikir jernih. Aku masih belum bisa
menerima pernyataan George tadi.
Matahari
mulai beranjak siang. Aku mulai beranjak tak keruan. Dihari libur seperti ini
aku seharusnya bersenang-senang. Oh Ageorge Zeswark, lelaki yang pernah
mempunyai mimpi bersamaku. Aku benar-benar tidak tahu apa yang harus aku
perbuat saat ini. Aku memutuskan untuk pulang dan membuat secangkir kopi untuk
menenangkan fikiranku. Namun ternyata aku tidak bisa. Fikiranku terus saja
memikirkan George. Aku mulai berusaha mengikuti keinginan hatiku dan mulai
berfikir tidak rasional. Aku menurut keinginanku yang tersembunyi dan membawaku
ke kamarku dan membawaku bercermin. Aku terlihat tidak segar. Aku mulai mematut
bentuk wajahku agar terlihat senang. Mungkin itu keinginan paling dalam ku saat
ini. Tiba-tiba, aku merasa suara hatiku berteriak. Bukan itu yang dimaksudkan,
lalu mengapa dia membawaku kedepan cermin? Seakan menjawab pertanyaanku sendiri
aku tahu apa maksudnya. Kubuka lemari pakaianku, aku memilih baju yang sering
kugunakan saat bertemu dengannya. Aku kini mengerti. Hatiku merasakan senang
akan bertemu dengannya. Entah apa dulu yang ia lakukan denganku, aku masih senang
dan aku masih bisa menerimanya. Aku siap menerima George dalam keadaan apapun.
Aku mengerti dengan apa yang dimaksud kasih sayang yang tulus. Ya kasih
sayangku untuk George.
Aku
merasa bersemangat. Kupersiapkan diriku sebaik-baiknya. Pukul setengah satu
siang, kulajukan mobilku perlahan menyusuri jalanan kota Jogja yang asri. Lagu M2M – Dear Diary mengalun perlahan. Aku
sangat senang. Kuparkirkan mobilku dibawah pohon perindang rumah makan itu.
Kembali aku merasakan suasana 2 tahun yang lalu. Selama 7 tahun aku sering
kesini bersama George dan berbagi kebahagiaan. Tempat ini tidak mewah namun
memberikan suasana yang nyaman. Aku ingin menangis. Memori-memori tentang
George kembali mengingatkanku akan apa yang telah dia lakukan untukku.
Kulangkahkan kakiku ke pintu masuk.
Masih dengan penjaga yang sama. Tersenyum padaku seakan ingin berkata “Sudah
lama anda tidak kesini.”
Aku
berhenti tepat dibelakang seorang pria. Aku tidak dapat emnahan perasaan ini aku
mulai menangis perlahan. Lelaki itu masih dengan rambutnya yang cepak, postur
tubuhnya yang terlihat besar dan kulitnya yang kemerahan. Aku ingin memeluknya,
aku ingin mengatakan kepadanya aku masih menyayanginya. Aku rindu dengannya.
Tiba-tiba dia berbalik dan melihatku menangis dibelakangnya. Tatapan matanya
yang hangat tiba-tiba menjadi keras. Aku suka tatapan matanya seakan dia ingin
menjadi pelindung nomor satuku. Dia memelukku. Aku benar-benar tidak dapat
menahan tangisku. Aku menangis terisak-isak dipelukannya. Pelukan yang dulu
pernah menjadi milikku, namun kini milik orang lain. Aku tidak peduli, aku juga
tidak peduli bahwa pelanggan restoran itu melihat kami dengan tatapan aneh. Aku
hanya peduli satu hal, aku rindu dengan George dan aku menyayanginya.
“Ada
apa denganmu?” suara lembut itu berbisik di telingaku. Aku masih memeluknya.
“Aku
rindu denganmu George..” kataku singkat namun mewakili seluruh perasaanku saat
ini.
“Aku juga merindukanmu Anne.” Katanya
sambil mengelus rambutku dan menyuruhku duduk. Pelayan segera mendatangi kami
menanyakan pesanan. George hanya bilang “Seperti biasa.” Dan pelayan nampak
bingung dan ingin bertanya apa maksud dari “seperti biasa” tapi pelayan yang
nampaknya sudah senior menghampiri kami dan memberi penjelasan kepada pelayan
itu. Pelayan itu mengangguk mengerti dan kembali. Kami kembali bertatapan dan
George memegang tanganku. Aku rindu itu.
“Lama
tak berjumpa Anne, apa kabarmu?” dia memulai pembicaraan.
“Yah
George seperti inilah aku.”
“Kau
tahu Anne entah mengapa aku sangat merindukanmu dan aku..” George belum selesai
berbicara namun aku tidak tahan dan tidak siap menerima perasaan ini. Aku tidak
siap mendengar apa yang akan George katakan.
“Bagaimana
kabarmu dengan wanita bali itu George?” sengaja kusela bicaranya. Aku berusaha
memasang wajah ceria. Aku tak ingin terlihat lemah di depan George, lelaki yang
sudah meninggalkanku. “Bagaimana setelah perkenalan pertamamu George?”
“Dia
teman masa kecilku Anne. Dan saat aku bertemu dengannya kami merasa dekat. Ada
sesuatu diantara kami yang membuat kami cepat menjadi sepemikiran. Saya rasa
kami sangat cocok.”
Oh
Tuhan, mengapa dia tega mengatakan hal itu didepanku. Aku ingin menangis. Aku
merasa bodoh telah menanyakan hal yang tidak ingin aku tahu jawabannya. Aku
tidak bisa berkata apa-apa lagi. “Oh..” jawabku singkat. Tuhan tolong aku.
“Lalu mengapa kamu ingin menemuiku George?” kuberanikan bertanya.
“Sudah
kubilang Anne, aku merindukanmu. Aku tidak akan melupakan semua tentang kita
begitu saja.”
Hatiku
meleleh tapi aku harus sadar, George bukan milikku lagi.
“Anne,
aku ingin bertanya sesuatu kepadamu.”
“Katakan
saja George.” Oh tidak Tuhan. Apa yang ingin dia tanyakan? Apa aku sanggup
menjawab pertanyaannya? Seharusnya aku mengatakan bahwa aku tidak bisa menjawab
pertanyaannya. Mengapa keinginan hatiku dan fikiranku tidak bisa menjadi satu
tujuan? Mengapa aku menjadi tidak rasional di depan George? Batinku berdebat.
Bibirku bergetar. Aku tak sanggup membuka mata. Aku terlalu takut. “Katakan
George.” Kataku sekali lagi seolah aku ingin membuatnya percaya bahwa aku sudah
ikhlas menerima ini.
“Jika
aku menikah dengan Dewi, wanita asal Bali yang dikenalkan oleh ibuku apalah
kamu ikhlas?” George bertanya perlahan. “Aku tahu aku mungkin terlihat bodoh
menyanyakan hal ini kepadamu. Tapi aku membutuhkan jawabanmu akan hal ini Anne.
Aku tidak ingin kecewa saat menikahi Dewi..”
Mengapa
George tega mengatakan pertanyaan tolol ini? Pertanyaan menakutkan dan pastinya
tidak bisa kujawab dengan hati yang mantap. Pertanyaan George membuat hatiku
sakit. Aku tidak berani menjawab pertanyaannya. Aku ingin berteriak bahwa aku
tidak rela. Tapi aku takut, takut George akan patah hati mendengar jawabanku.
Takut George menganggap aku egois dengan tidak membiarkan dia bahagia dengan
kehidupannya yang sekarang. Aku bingung harus menjawab apa. Aku tidak yakin
apakah George akan mau berteman denganku jika aku menajawab tidak. Keadaan itu
memojokkan aku untuk menjawab bahwa aku ikhlas. “Yes George, aku ikhlas.” Kataku perlahan. Aku ingin menangis. Aku
tidak kuat menahan perasaan ini.
“Apa
kamu yakin?”
Tidak George, jelas aku tidak yakin. Aku
menyayangimu dan aku tidak akan membiarkanmu bersama wanita lain. Egois memang
tapi aku tidak mau melihat diriku seperti ini. George tolong mengerti aku. Apa
aku harus berteriak agar kamu sadar?! Aku ingin menjawab tidak. Namun apa
dayaku? “Ya George, demi kebahagiaanmu?” jawabku. Aku langsung menarik diri.
Kulajukan
mobilku dengan kecepatan tinggi. Aku tidak peduli dengan keadaan jalan yang
ramai. Aku tidak peduli. Aku menangis. Masih teringat kata-kata George saat
bertemu tadi. Tiba-tiba ponselku berdering. Kubuka 3 pesan yang masuk. Dari
George.
From: George
Hai
Anne, sorry tentang tadi. Namun aku benar-benar membutuhkan kepastian darimu.
Pesan kedua dari George lagi.
From: George
Bagaimana
Anne. Aku ingin jika kamu menjawab ikhlas itu berasal dari hatimu.
Pesan ketiga dari George lagi.
From: George
Dan
yang terakhir aku ingin masih memanggilmu Clarissa. Aku tidak menyukai
memanggilmu Anne. Terimakasih untuk semua dan maafkan aku Clarissa..
Aku
menangis. Aku tidak bisa mengatakan apapun. Semua pesan dari George tidak ada
yang aku balas. Aku ingin dia sadar bahwa aku masih mencintainya. Aku menyukai
George saat dia memanggilku siapa saja. Clarissa atau Anne aku tidak perduli.
Seminggu
setelah kejadian itu, aku sudah bisa sedikit melupakan kejadian itu. Aliesha
sebagai sahabatku yang baik sering mengunjungiku dan menghiburku. Terkadang dia
membawakan aku junk food dan membuat
moodku kembali normal. Aku sudah berusaha melupakan George meski terkadang aku
masih teringat akan dia.
Malam
hari di Jogja terasa hangat. Di Alun-Alun Kidul pasar malam merayakan sekaten
digelar. Aku mendadak seperti anak kecil. Aku ingin pergi kesana. Aku
menghubungi Aliesha untuk menemaniku karena kedua orangtuaku sedang ke Thailand
jadi tidak mungkin untuk menemaniku. Suara Aliesha terlihat buruk tapi dia mau
menemaniku. Sepanjang perjalanan aku melihat ada yang aneh dari gelagat
Aliesha. Aku merasa ada yang ingin dia katakan kepadaku. Namun saat aku
bertanya dia hanya mengatakan bahwa moodnya
kurang baik. Aku berharap setelah pulang dari pasar malam moodnya semakin membaik.
Pasar
malam di Jogja sangat unik menurutku. Untuk wanita seumuran aku dan masih
terbuai dengan ramainya pasar malam bisa sedikit dibilang norak. Yah, memang
dari kecil aku dimanja oleh kedua orangtuaku. Namun aku belum pernah dibawa
kepasar malam. Aku menikmati pasar malam pertama kali adalah ketika aku SMA dan
itupun harus membohongi Mbok Min dan saat kedua orangtuaku sedang di Amerika.
Saat itu Mbok Min seperti orang kesurupan karena sampai jam 11 malam aku belum
juga pulang. Namun saat aku kuliah aku sering menikmati pasar malam, kadang kau
pergi bersama George. Kenangan itu membuatku lupa akan jalan yang ramai dan
macet. Kota Jogja terlalu indah, banyak wisatawan yang datang untuk menikmati
keunikan dari kota gudeg ini. Bahkan sampai aku menjadi dokter di sebuah rumah
sakit swasta ini aku masih saja terbuai dengan keindahan kota ini.
Pukul
8 malam tepat. Malam yang sempurna untukku menjadi gila akan indahnya taman
pasar malam ini. Tidak peduli berapa uang yang aku habiskan untuk menaiki
wahana yang dibilang mengasyikan, tidak peduli uang recehku habis untuk membeli
berbagai macam jajanan kampung yang disediakan penjaja makanan. Aku senang, aku
bahkan sering melupakan Aliesha yang sering berjalan dibelakangku. Aku merasa
malam ini sempurna. Namun tiba-tiba aku melihat seorang yang sangat kukenal.
Aku kenal rambut itu, aku kenal mata itu. George. Dan dia menggandeng seorang
wanita mungil berkulit sawo matang. Wanita itu sama noraknya dengan anak
kampung yang kurang berpendidikan dan terkesan nakal. Aku berhenti begitu saja ditengah jalan. Aku tidak peduli
betapa orang merasa terganggu akibat aku yang menghalangi jalan mereka. Aku
perlu Aliesha.
Aku
melihat Aliesha sudah menangis dibelakangku. Aku berusaha tegar. Aku tidak bisa
mencerna apa yang telah terjadi. Aku tidak menangis. Mungkin wanita yang
bersama George hanya teman kenalannya. Tidak mungkin wanita bali bernama Dewi
itu mau ke Jogja hanya untuk menikmati pasar malam. Kurasa Bali cukup ramai
dibanding Jogja. Aku terus berfikir sementara tanganku sibuk menenangkan
Aliesha yang menangis tanpa sebab begitu saja.
“Maafkan
aku Anne..” Aliesha berbicara sangat lirik. Suaranya masih bergetar karena menahan
tangis. Aku nyaris tidak bisa mendengarkan suaranya jika saja kepalaku menjauh
5cm dari bibirnya.
“Apa
maksudmu Aliesha? Karena kamu menangis disaat seharusnya aku bisa bahagia?
Tidak Aliesha kamu tidak salah. Justru itulah sahabat. Kamu tidak perlu
menungguku hingga moodku menjadi
jelek untuk berbicara tentang masalahmu. Aku selalu ada untuk kamu dalam
keadaan apapun Aliesha..” kataku mencoba menenangkannya. Aku tahu hati Aliesha
sedang kalut. Meski aku tidak tahu apa masalahnya.
“Bukan
itu Anne. Maafkan aku telah berbohong kepadamu..”
“Apa
maksudmu Alie?” kulepas pelukanku. Kucari maksud dari kata Aliesha dari
tatapannya, tapi sahabatku itu tidak berani menatapku. “Jelaskan padaku
Aliesha!” Aku mulai menggertak. Aku tahu itu salah. Tapi aku sedang frustasi
setelah melihat George bersama seorang wanita dan diwaktu yang sama Aliesha
mengaku telah membohongiku.
“Wanita
yang bersama George, kau tahu?” Aliesha mulai berani menatapku.
“Yah
wanita yang berkulit eksotis itu? Ada apa dengan dia?”
“Dia
Dewi.”
Aku
tersentak. Entah mengapa aku tidak sanggup untuk merelakan George bersama
dengan wanita itu. “Tapi apa maksudmu kamu berbohong kepadaku?”
“Tadi
siang George datang kerumahku..” Aliesha mulai membicarakan hal yang tidak
masuk akal. “Dia datang bersama wanita itu. Dia memperkenalkan wanita itu
sebagai Dewi tunangannya yang berasal dari Bali. Dan.. dan dia memberikan
aku..”
“Memberikan
apa Aliesha?” Mataku mulai berkaca-kaca.
“Undangan
pernikahan.” Kata Aliesha lirih, lebih lirih dari orang berbisik. Tapi aku
sanggup mendengarnya dengan keras dan jelas. Aku tidak bisa menerima ini. Aku
menangis diantara ramainya pasar malam. Aku tidak peduli. Aku benci pasar malam
sejak saat itu.
Mengapa
aku menyukai bulan Juli? Selain cuaca panas yang menyenangkan, Juli juga bulan
dimana aku lahir. Hari ini 26 tahun yang lalu aku dilahirkan. Aku berasa sangat
tua. Bangun tidur kuhampiri kaca yang tergantung di almari baju. Kupandangi
keriput dini disekitar mataku. Aku sengaja mengambil cuti agar bisa
bersenang-senang. Hidupku kacau akhir-akhir ini dan aku rasa aku membutuhkan refreshing.
Kedua
orangtuaku kembali ke Jogja tanpa memberitahuku. Membawakan aku roti yang besar
dan makanan kesukaanku. Aliesha turut datang dan memberikanku sebuah kado yang
lucu. Aku menyukai hari ini, walaupun ini tahun ke-3 aku merayakan ulang tahun
tanpa kehadiran George.
Sehari
setelah ulangtahunku aku harus segera masuk kerja. Aku hampir terlambat dan
sangat terburu-buru sebelum teriakan Mbok Min menggema memanggil namaku.
“Mungkin kita kemarin terlalu sibuk merayakan ultah Non Anne sehingga lupa
melihat kotak surat. Ada bingkisan untuk anda dan tanggalnya kemarin. Mungkin
itu kado untuk anda.” Kata Mbok Min terburu-buru.
Kubuka
kotak kecil berwarna kuning itu. Kalung. Berliontin persegi dengan hiasan
berlian berbentuk “C” ditengahnya. Aku tahu siapa pengirimnya namun aku masih
mencari apakah ada surat dalam kotak itu. Aku menemukannya.
Happy Brithday Anne Clarissa Hutajaya. Nggak
terasa umurmu sudah 26 tahun. Terakhir aku merayakan ulang tahunmu saat kamu
berumur 23 tahun. Apa perpisahan kita sudah lama? Nggak. Aku tetap merasa
sampai saat ini kamu menjadi milikku. Aku ingin yang terbaik untukmu. Jaga
dirimu.
Clarissa,
bisakah aku bertemu denganmu hari ini? Mungkin hari ini kamu sedang sibuk
berulang tahun. Tapi aku memerlukan sedikit waktumu. Aku ingin meminta
kepastian darimu. Sore ini aku sudah akan ke Bali, besok aku menikah dengan
Dewi. Bisakah kau memberi aku kepastian apakah kamu merelakan aku menikah
dengannya?
Jawab
itu ketika kita bertemu nanti. Oke? Aku akan menunggumu ditempat yang biasa
sampai pukul 4 sore nanti. Bye. Love George.
Aku
menyadari bahwa surat itu dibuat kemarin dan jelas saja sekarang George telah
ke Bali. Untuk.. untuk menikah dengan wanita itu. Aku ingin menangis. Langsung
kulajukan mobilku menuju restoran kesukaan kami. Salam penjaga tidak
kuhiraukan. Kutunggu di meja biasa kami. 2 jam aku disana menunggu George yang
entah kemana. Aku menyadari bahwa perbuatanku sia-sia belaka. Aku berjalan lesu
ke arah pintu keluar.
“Mengapa
anda baru datang sekarang?” penjaga pintu masuk itu bertanya kepadaku.
“Apa
maksudmu?”
“Pacar
anda kemarin menunggu selama 5 jam disini. Saya rasa dia menunggu anda. Tetapi
karena anda tidak datang jam 4 dia memutuskan untuk pulang. Namun sebelum
pulang dia menitipkan ini kepada saya untuk anda.” Penjaga itu memberikanku
secarik kertas.
Aku sudah menunggumu lama disini. Namun kau tidak
juga datang Clarissa. Aku menganggap ketidakdatanganmu adalah tanda bahwa kau
mengikhlaskanku. Kau tau Clarissa, sebenarnya aku berharap kamu bilang tidak.
Karena jika kamu bilang tidak aku tidak akan menikah dengan Dewi karena aku
masih mencintaimu. Namun aku bisa apa. Besok jam 10.00 aku resmi menjadi suami
Dewi. Semoga kamu tidak keberatan. Sayang. George.
Aku
menangis begitu saja. Kulihat jam pada arlojiku: 10.15am. Aku ingin menangis
namun hanya penyesalan yang ada untukku. Mengapa ternyata aku sendiri tidak
bisa memahami perasaan George. Lelaki yang selalu terlihat santai ternyata memiliki
harapan yang besar untuk aku berkata “tidak”. Sepanjang kerja aku hanya
melamun. Aku merasa aku sendiri yang perlu dirawat. Aku merasa kehidupanku
hancur begitu saja.
Satu
tahun berlalu. Awal Juli kembali membuaiku. Aku sudah bisa hidup tanpa
bayang-bayang George. Aku kembali ke rutinitas awalku dan aku kembali kuliah
untuk menambah pengetahuanku. Aku ingin menjadi wanita karier. Aku datang saat
pesta pernikahan Aliesha dan kami berpesta bersama. Tidak peduli betapa aku
sendiri hadir tanpa pasangan. Toh selama hidup masih bisa bersenang-senang
mengapa tidak dilakukan? Aku sekarang sanggup berfikir rasional. Pengalamanku
dengan George membuatku lebih selektif dan menggunakan segala kesempatan apa
yang ada untuk melakukan hal maksimal. Aku merasa bahwa Juli tahun ini akan
menjadi tahun hebatku. Aku tidak tahu. Aku hanya merasa. Tanpa George aku masih
bisa hidup tenang. Aku tidak takut harus menjadi perawan tua. Asalkan aku masih
bisa merasakan kebebasan dan kebahagiaan. Terimakasih George atas apa yang
telah kamu lakukan selama ini. Aku bahagia, dan aku ikhlas.. -mth