Visitors

Minggu, 28 Juli 2013

Sebuah Jalan Lain


“Satu hal yang kupelajari, walaupun sangat besar rasa sayang kita kepada seseorang tetapi seseorang yang kita harapkan sama sekali tidak membalas rasa kita itu tidak berarti apa-apa. Yang ada bukanlah perasaan sia-sia yang terbuang percuma, tetapi sebuah langkah baru yang harus kita hadapi dengan senyum.”

                Seminggu sejak kejadian itu, kejadian yang membuat aku ingin mengurung diri dikamar selamanya. Aku tidak sakit, tidak secara fisik. Hanya yang terlihat aneh selama ini hanyalah mataku yang semakin hari semakin sembab karena menangis terlalu lama. Mama dan papaku seakan bisa memahamiku dan mengerti apa yang harus mereka lakukan untukku. Teman-temanku seakan juga bisa mengerti dan ikut merasakan apa yang aku alami.
                “Jangan memaksaku untuk memilih Ta!” masih kuingat jeritan Ken seminggu lalu digerbang sekolah. Itu hari terakhir sebelum liburan akhir semester ganjil. Yah, aku dan Ken sudah saling mengenal sejak kami kelas 1 SMA. Dan sejak itu kami terus berdua. Aku memiliki perasaan kepadanya, tetapi aku tahu bahwa wanita masih dianggap tabu untuk menyatakan perasaan mereka.
                “Apa maksudmu Ken? Apakah salah aku mencintaimu? Mengapa kau melarang aku begitu saja setelah apa yang kita lewati?”  protesku sambil menahan air mata. Aku ingat benar, perasaanku hancur saat itu.
                “Cintai saja aku Ta, aku tidak akan menolak. Tapi jangan salahkan kalau kamu patah hati.”
                “A-apa maksudmu? Kau berjanji tidak akan membuat sakit perasaanku Ken. Dimana rasa pengertianmu selama ini?” air mataku mulai menetes, aku tidak peduli tatapan teman-temanku melihat aku dan Ken ribut di depan pintu gerbang sekolah.
                “Jangan menyukaiku. Jadi perasaanmu tidak akan sakit saat aku tidak membalas perasaanmu.” Ken berkata datar sambil meninggalkanku seorang diri. Aku masih menangis. Sejak saat itu kuputuskan mengurung diri dikamarku.
                Kuingat serpihan-serpihan peristiwa itu dengan tangisan terisak yang tertahan. Kugigit bibirku agar suara tangisku tidak keluar. Besok adalah hari natal, kuingat tahun lalu aku merayakan malam natal bersama Ken dan keesokan harinya dia memberiku hadiah sebuah lonceng lucu yang digantungi boneka panda. Aku ingat saat itu Ken berbisik kepadaku bahwa ia tidak akan membuat perasaanku sakit, tapi setahun setelah kejadian itu dia benar-benar mengingkari janjinya. Malam ini aku tidak bisa tidur sama sekali. Aku tidak peduli St.Claus tidak akan memberiku hadiah jika aku tidak tidur. Aku ingin menangis sepuas-puasnya.
                Natal pagi, suara adikku sudah menggema memenuhi langit-langit kamarku. Bahkan dari dalam kamar saja aku bisa mengetahui bahwa dia mendapatkan sepaket aksesoris dari orangtuaku. Aku ingin kembali tidur saat kudengar ketukan halus dari mamaku. “Ta, bangun nak. Ayo ke Gereja.”
                Sebuah kata “Gereja” mampu membangkitkan kepekaanku. Entah mengapa ratusan semangat muncul dari jiwaku. Segera kubersihkan diriku dan bersiap diruang keluarga. Disana mama dan papa sudah menunggu. Kami berangkat, saat melewati ruang tamu kulihat ada 2 kado yang masih terbungkus rapi. Mungkin satu milikku dan satu milik adikku.
                Entah, perasaan tenang aku dapati saat aku benar-benar mengutarakan keluh kesahku kepadaNya. Selesai ibadah aku memutuskan untuk berjalan-jalan ditaman Gereja. Banyak anak-anak bermain ditaman menghabiskan waktu liburan mereka, dari kejauhan aku bisa melihat seorang lelaki bersama wanita seumurannya. Aku yakin dia Ken. Aku tidak bisa melupakan setiap inci dari bentuk wajahnya. Hatiku remuk, aku tidak menyangka secepat itu Ken mendapat teman baru. Aku tidak menyangka secepat itu dia melupakanku. Tidak ada satupun ucapan selamat natal darinya. Aku tidak menyangka dia begitu egois. Aku segera mengajak kedua orangtuaku pulang. Aku terpaksa memberi salam kepada orangtua Ken karena orangtuaku sedang berbicara kepada mereka saat aku mengajak pulang. Aku sakit.
                Dirumah semakin mewah. Aku merasakan kebahagiaan yang semu. Kupandangi kado yang berada dibawah pohon natal. Kotak mungil berwarna hijau dan merah tua itu mengusik kesedihanku. Kuambil kotak yang berwarna merah tua itu, kulihat catatan dibagian atasnya “To Venta” itu bukan tulisan tangan orangtuaku. Penasaran kuambil kotak yang satunya. Masih tercatat untukku. Lalu dari siapa hadiah ini? Kubuka bingkisan hijau. Sebuah dream ball berisi St.Claus yang sedang memberi kado diatas cerobong asap. Salju turun diatasnya. Dibawah itu semua tertulis manis “To our dear Venta. Full of love mom and dad.” Aku ingin menangis, kedua orangtuaku masih menyayangiku.
Segera kubuka kotak kedua. Long dress, kali ini tak mungkin adikku yang memberikan kepadaku. Secarik kertas jatuh dari lipatan pakaian itu. “Kuharap kau memakai ini saat kujemput malam ini pukul 07pm. St.Claus J.” Sebuah hal konyol, tak mungkin St.Claus memberiku hadiah karena semalam aku tidak tidur. Aku penasaran, siapa yang memberiku hadiah ini. Rasa penasaranku masih muncul ketika tiba-tiba adikku memberi bingkisan kepadaku sambil tersenyum. Kuterima dengan senang hati bingkisan itu. Sebuah jam tangan cantik berwarna kuning. Kucium adikku dengan penuh ucapan terimakasih.
Pukul 6 sore. Aku masih penasaran siapakah yang akan menjemputku. Kupersiapkan diriku. Kugunakan dress pemberian seseorang itu. Bahkan orangtuaku tidak mau memberi tahu kepadaku siapa pengirimnya. Jam 7 tepat sebuah mobil diparkirkan didepan pintu gerbangku. Aku hafal benar itu mobil Ken. Aku tidak percaya apakah dia yang menjemputku.
Kulihat dia masuk kerumahku menggunakan setelan jas yang rapi. “Hai Ta.” Sapanya ramah. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Aku hanya bisa tersenyum dan mengangguk. Setelah Ken pamit kepada orangtuaku kami pergi keluar.
“Kau masih berani menemuiku?” kataku terang-terangan.
“Mengapa? Bukankah aku sahabatmu? Kau masih sakit hati?”
“Tapi..”
“Aku memang tidak menerimamu. Dan aku memang menganjurkan kamu untuk tidak mencintaiku. Karena aku sudah menyayangimu sebagai sahabatku. Itu cukup buatku. Dan kurasa seminggu adalah waktu yang tepat untukmu menyadari itu Ta.” Katanya singkat sambil menggandengku.
Satu hal yang kupelajari, walaupun sangat besar rasa sayang kita kepada seseorang tetapi seseorang yang kita harapkan sama sekali tidak membalas rasa kita itu tidak berarti apa-apa. Yang ada bukanlah perasaan sia-sia yang terbuang percuma, tetapi sebuah langkah baru yang harus kita hadapi dengan senyum. -mth

Tidak ada komentar:

Posting Komentar