“Satu hal yang
kupelajari, walaupun sangat besar rasa sayang kita kepada seseorang tetapi
seseorang yang kita harapkan sama sekali tidak membalas rasa kita itu tidak
berarti apa-apa. Yang ada bukanlah perasaan sia-sia yang terbuang percuma,
tetapi sebuah langkah baru yang harus kita hadapi dengan senyum.”
Seminggu
sejak kejadian itu, kejadian yang membuat aku ingin mengurung diri dikamar
selamanya. Aku tidak sakit, tidak secara fisik. Hanya yang terlihat aneh selama
ini hanyalah mataku yang semakin hari semakin sembab karena menangis terlalu
lama. Mama dan papaku seakan bisa memahamiku dan mengerti apa yang harus mereka
lakukan untukku. Teman-temanku seakan juga bisa mengerti dan ikut merasakan apa
yang aku alami.
“Jangan
memaksaku untuk memilih Ta!” masih kuingat jeritan Ken seminggu lalu digerbang
sekolah. Itu hari terakhir sebelum liburan akhir semester ganjil. Yah, aku dan
Ken sudah saling mengenal sejak kami kelas 1 SMA. Dan sejak itu kami terus
berdua. Aku memiliki perasaan kepadanya, tetapi aku tahu bahwa wanita masih
dianggap tabu untuk menyatakan perasaan mereka.
“Apa
maksudmu Ken? Apakah salah aku mencintaimu? Mengapa kau melarang aku begitu
saja setelah apa yang kita lewati?”
protesku sambil menahan air mata. Aku ingat benar, perasaanku hancur
saat itu.
“Cintai
saja aku Ta, aku tidak akan menolak. Tapi jangan salahkan kalau kamu patah
hati.”
“A-apa
maksudmu? Kau berjanji tidak akan membuat sakit perasaanku Ken. Dimana rasa
pengertianmu selama ini?” air mataku mulai menetes, aku tidak peduli tatapan
teman-temanku melihat aku dan Ken ribut di depan pintu gerbang sekolah.
“Jangan
menyukaiku. Jadi perasaanmu tidak akan sakit saat aku tidak membalas
perasaanmu.” Ken berkata datar sambil meninggalkanku seorang diri. Aku masih
menangis. Sejak saat itu kuputuskan mengurung diri dikamarku.
Kuingat
serpihan-serpihan peristiwa itu dengan tangisan terisak yang tertahan. Kugigit bibirku
agar suara tangisku tidak keluar. Besok adalah hari natal, kuingat tahun lalu
aku merayakan malam natal bersama Ken dan keesokan harinya dia memberiku hadiah
sebuah lonceng lucu yang digantungi boneka panda. Aku ingat saat itu Ken
berbisik kepadaku bahwa ia tidak akan membuat perasaanku sakit, tapi setahun
setelah kejadian itu dia benar-benar mengingkari janjinya. Malam ini aku tidak
bisa tidur sama sekali. Aku tidak peduli St.Claus tidak akan memberiku hadiah
jika aku tidak tidur. Aku ingin menangis sepuas-puasnya.
Natal
pagi, suara adikku sudah menggema memenuhi langit-langit kamarku. Bahkan dari
dalam kamar saja aku bisa mengetahui bahwa dia mendapatkan sepaket aksesoris
dari orangtuaku. Aku ingin kembali tidur saat kudengar ketukan halus dari
mamaku. “Ta, bangun nak. Ayo ke Gereja.”
Sebuah
kata “Gereja” mampu membangkitkan kepekaanku. Entah mengapa ratusan semangat
muncul dari jiwaku. Segera kubersihkan diriku dan bersiap diruang keluarga. Disana
mama dan papa sudah menunggu. Kami berangkat, saat melewati ruang tamu kulihat
ada 2 kado yang masih terbungkus rapi. Mungkin satu milikku dan satu milik
adikku.
Entah,
perasaan tenang aku dapati saat aku benar-benar mengutarakan keluh kesahku
kepadaNya. Selesai ibadah aku memutuskan untuk berjalan-jalan ditaman Gereja. Banyak
anak-anak bermain ditaman menghabiskan waktu liburan mereka, dari kejauhan aku
bisa melihat seorang lelaki bersama wanita seumurannya. Aku yakin dia Ken. Aku tidak
bisa melupakan setiap inci dari bentuk wajahnya. Hatiku remuk, aku tidak
menyangka secepat itu Ken mendapat teman baru. Aku tidak menyangka secepat itu
dia melupakanku. Tidak ada satupun ucapan selamat natal darinya. Aku tidak
menyangka dia begitu egois. Aku segera mengajak kedua orangtuaku pulang. Aku terpaksa
memberi salam kepada orangtua Ken karena orangtuaku sedang berbicara kepada
mereka saat aku mengajak pulang. Aku sakit.
Dirumah
semakin mewah. Aku merasakan kebahagiaan yang semu. Kupandangi kado yang berada
dibawah pohon natal. Kotak mungil berwarna hijau dan merah tua itu mengusik
kesedihanku. Kuambil kotak yang berwarna merah tua itu, kulihat catatan
dibagian atasnya “To Venta” itu bukan tulisan tangan orangtuaku. Penasaran kuambil
kotak yang satunya. Masih tercatat untukku. Lalu dari siapa hadiah ini? Kubuka bingkisan
hijau. Sebuah dream ball berisi
St.Claus yang sedang memberi kado diatas cerobong asap. Salju turun diatasnya. Dibawah
itu semua tertulis manis “To our dear
Venta. Full of love mom and dad.” Aku ingin menangis, kedua orangtuaku
masih menyayangiku.
Segera kubuka
kotak kedua. Long dress, kali ini tak
mungkin adikku yang memberikan kepadaku. Secarik kertas jatuh dari lipatan
pakaian itu. “Kuharap kau memakai ini
saat kujemput malam ini pukul 07pm. St.Claus J.”
Sebuah hal konyol, tak mungkin St.Claus memberiku hadiah karena semalam aku
tidak tidur. Aku penasaran, siapa yang memberiku hadiah ini. Rasa penasaranku masih
muncul ketika tiba-tiba adikku memberi bingkisan kepadaku sambil tersenyum. Kuterima
dengan senang hati bingkisan itu. Sebuah jam tangan cantik berwarna kuning. Kucium
adikku dengan penuh ucapan terimakasih.
Pukul 6 sore. Aku
masih penasaran siapakah yang akan menjemputku. Kupersiapkan diriku. Kugunakan dress pemberian seseorang itu. Bahkan orangtuaku
tidak mau memberi tahu kepadaku siapa pengirimnya. Jam 7 tepat sebuah mobil
diparkirkan didepan pintu gerbangku. Aku hafal benar itu mobil Ken. Aku tidak
percaya apakah dia yang menjemputku.
Kulihat dia
masuk kerumahku menggunakan setelan jas yang rapi. “Hai Ta.” Sapanya ramah. Aku
tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Aku hanya bisa tersenyum dan mengangguk.
Setelah Ken pamit kepada orangtuaku kami pergi keluar.
“Kau masih
berani menemuiku?” kataku terang-terangan.
“Mengapa? Bukankah
aku sahabatmu? Kau masih sakit hati?”
“Tapi..”
“Aku memang
tidak menerimamu. Dan aku memang menganjurkan kamu untuk tidak mencintaiku. Karena
aku sudah menyayangimu sebagai sahabatku. Itu cukup buatku. Dan kurasa seminggu
adalah waktu yang tepat untukmu menyadari itu Ta.” Katanya singkat sambil
menggandengku.
Satu hal yang
kupelajari, walaupun sangat besar rasa sayang kita kepada seseorang tetapi
seseorang yang kita harapkan sama sekali tidak membalas rasa kita itu tidak
berarti apa-apa. Yang ada bukanlah perasaan sia-sia yang terbuang percuma,
tetapi sebuah langkah baru yang harus kita hadapi dengan senyum. -mth
Tidak ada komentar:
Posting Komentar