Visitors

Senin, 02 Oktober 2017

Alasanmu tentang Kita



“Bagaimana aku menceritakan kisah kita?” tanyamu sore itu sambil menyuap baso kuahmu.
Kuamati kamu bergumam seperti biasa, tak terdengar namun terbaca ekspresinya. “Bukan begitu?” tanyamu lagi sambil menatapku yang sedari tadi lupa bahwa aku juga sedang makan. Kujawab dengan anggukan kecil sambil menyuap makananku. Sebenarnya aku tidak mengerti apa yang kau bicarakan, tetapi aku senang melihatmu puas dengan jawabanku.
“Kapan lagi kita akan main teka-teki?” kususul pertanyaan ini saat kau mulai meneguk es tehmu. Kamu tidak menjawab karena kepanasan. “Ah sini kuberi kau AC.” Lanjutku sambil meniupimu yang kepanasan. “Mukamu memerah, mirip teh panas. Hehehe.” Teka-teki sudah terjawab.
Kamu suka berjalan sendiri sambil menggunakan headset ditelingamu sambil menutup mata. Katamu biar aku mau pulang denganmu dan menuntunmu pulang. Kamu banyak alasan. Katamu kalau hidup tidak disertai dengan alasan, maka kamu lebih memilih mati. Tapi kamu tidak bisa mati karena katamu sewaktu akan masuk surga kamu ditanya alasan dan kamu ngotot bahwa tidak punya alasan. Maka kamu kembali kedunia. “Masih tidak ingin punya alasan?” tanyaku.
“Ada alasanku.”
“Apa?”
“Mencintai kamu.”
Ah kamu tidak perlu membuang waktumu hanya untuk mencintai aku. Tapi aku senang kamu mencintai aku. Kamu tidak jelas. Kemarin kamu bilang sayang dengan bunda mu, sekarang kamu bilang sayang ke aku.
“Kalau aku sayang dengan bunda karena dia yang menguatkan aku. Tapi aku sayang sama kamu karena kamu menjadi alasan untuk aku kuat.” Kamu mulai memamerkan ototmu sambil sedikit bersenandung. “Boleh tidak?”
Kutatap matamu. Aku tidak yakin kamu serius. Bahkan sejauh aku mengenalmu kamu tidak pernah benar-benar serius kecuali saat kamu menghitung berapa nyamuk yang berhasil kamu bunuh dirumahmu kemarin sore. “Kamu tidak boleh serius.”
“Aku hanya ingin bertanya alasanmu.” Kamu mulai serius. Ah aku tidak pernah sanggup menanggapimu yang benar-benar serius membicarakan kita. Aku bisa saja muntah didepanmu karena perutku dapat tiba-tiba tercampur dan membuat mual hanya membicarakan kita.
“Aku tidak ingin kita dibicarakan. Aku sudah senang dengan kita yang sekarang.” Sahutku lirih.
Kamu hanya mengangguk dan mulai berjalan lagi. Akhirnya aku tidak perlu kabur darimu untuk menghindari pertanyaan itu. “Kemarin kamu kemana?” alihku.
“Menanam padi.” Jawabmu singkat. Aku tahu kamu akan melanjutkan. “Untuk makanku supaya bisa kuat menjagamu. Hehehe..”
“Hehehe...”
Kamu diam.
“Penjagaku tidak makan padi.” Gerutuku asal. “Tapi penjagaku suka berimajinasi.”
“Iya padinya imajinasi kok..” Ah kamu membela diri. Kamu mau jadi penjagaku tapi kamu tidak mau terikat denganku.
“Aku menjagamu dari sini saja. Biar bisa kulihat dari jauh kalau ada yang mau jahatin kamu. Kalau aku didekat kamu, nanti kalau tiba-tiba ada yang menyerang dan aku tidak selamat tidak ada lagi yang menjagamu. Aku harus selamat, makanya aku tidak mau terlalu dekat denganmu.” Kamu mulai berlari sedikit menjauh dari aku yang berjalan pelan. “Tapi jauhnya segini saja ya, aku tidak kuat harus terlalu jauh dari kamu. Mataku minus, nanti tidak bisa melihatmu dengan jelas.”
“Hahahahaha...” aku tertawa.
“Jangan ketawa.” Bentakmu serius. “Nanti aku melanggar kata-kataku untuk tidak terlalu dekat dengan kamu.”
“Kenapa?”
“Karena aku suka.”
“Tapi kamu tidak akan selalu bisa melihat senyumku. Suatu saat senyumku akan jadi milik orang lain.”
“Aku suka melihatmu ketawa. Besok juga tetap sama.”
“Kamu cemburu?”
“Tidak kalau ketawamu bisa kukantongin.”
“Kamu tidak harus mengkantongi ketawaku.” Kuimbangi langkahmu yang besar-besar. Kamu menatap lurus ke jalan. “Aku akan terus ketawa asalkan kamu yang menjadi alasanku ketawa.”
“Maaf..” mukamu murung.
Aku menyesal sudah mengatakan itu. Kamu hanya diam saja tidak melanjutkan kata-katamu. Aku mulai panik, kuremas-remas rokku sambil menatapmu penuh harap. Air mukamu sudah berubah murung. Tidak seharusnya kuutarakan keinginanku mengenai hal ini.
“Aku bukan komedian.” Lanjutmu singkat. Aku diam. Kamu masih saja tidak bisa serius.
“Tapi kamu mau?”
“Tidak tahu besok.”
Aku dan kamu terus berjalan menuju rumahku sebelum kamu sendiri pulang kerumahmu yang jalannya berlawanan arah. Sudah sore, sudah mulai lapar lagi perutku. Katamu kalau makanku banyak nanti topeng yang kamu buatkan untukku tidak akan muat lagi karena pipiku makin besar. Kamu buatkan aku topeng dari potongan fotomu yang dilubangi bagian mata dan hidungnya. Katamu itu bukti bahwa kamu itu ganteng dan sebentar lagi topengmu akan menjadi idola masyarakat. “Aku punya pertanyaan.”
Jangan lagi soal kita. Aku lebih memilih dipaksa mengerjakan tugas trigonometri daripada menjawab soal kita. “Apa?”
“Kapan buaya kita beranak?”
“Mereka bertelur.” Aku menatapmu. Ya, aku tahu aku harus masuk ke dunia imajinasimu lagi. “Kenapa memang?”
“Kemarin buaya tetanggaku beranak. Dia menjerit sambil nangis-nangis. Aku kasihan dengan tetanggaku.” Kamu menatapku dengan bibir diruncingkan. “Kamu tidak percaya.”
“Aku percaya padamu.”
“Hehe makasih.”
“Kalau kita?”
“Mungkin besok.”Jawabku sekenanya.
“Jelaskan dulu dari awal sebelum besok.”
“Kukira besok kita masih akan bersama.”
“Siapa tahu aku diculik.” Kamu pergi saat telah sampai didepan rumahku. Seperti biasa dengan segenggam jambu air yang tumbuh didepan rumahku. Kamu selalu seperti itu, tetap pada kebiasaanmu yang mulai kumaklumi dan kuhafal setiap waktunya. Kamu tidak pernah berubah, selalu saja tidak pasti. Dan aku masih saja sama, takut menanyakan kepastian itu sendiri.
“Jangan sampai diculik, kamu besok harus menjemputku. Aku tidak berani pergi sendiri.”
“Kamu tahu aku ada dimana.”
Jangan sampai hatimu yang diculik maksudku. Kamu sempat hilang dulu. Dan aku tidak tahu kemana harus mencarimu waktu itu. Aku tidak akan pernah menceritakan secara detail seperti apa keterpurukanku kala itu. Kehilangan kamu. Mungkin itu yang membuatku terbiasa dengan samar-samarmu.
Aku masih tidak bisa tidur, seperti biasa aku masih menunggu kamu yang katanya akan mengunjungiku tiap malam lewat jendela kamar naik sapu terbang. “Kalau kamu lelah tidur saja. Nanti aku datangnya di mimpimu.” Katamu lewat telepon beberapa bulan yang lalu. Tapi pada kenyataannya sampai aku tertidur kamu tidak pernah datang ke mimpiku. “Oh aku sibuk bantuin bunda masak-masak di mimpinya.” Jawabmu sewaktu kutanya perihal hal ini. “Besok kalau kemampuanku sudah naik level, aku mau loncat-loncat dari mimpi bunda dan ke mimpimu.”
“Jangan nanti kamu capek.”
“Kan itu cuma mimpi.”
“Aku maunya kamu datang pakai sapu terbang aja.” Lalu aku tertidur dan kamu bohong lagi. Kamu tidak datang.
Kalau aku ditanya teman-teman mengapa aku suka kamu. Kubilang kamu sebenarnya superhero yang lagi menyamar untuk menemukan penjahat sesungguhnya. “Sebenarnya aku sudah menyelesaikan misiku, menyelamatkan kamu dari mantanmu yang jahat.” Itu alasan pertama yang kamu ungkapkan ke aku. Kamu suka alasan kan.
“Terus mengapa kamu tidak pergi?”
“Karena aku ingin menjagamu.”
“Tapi kamu menjauh.”
“Ya karena aku dan kamu bukanlah kita.”
Alasanmu. -mth

1 komentar: