“Bagaimana
aku menceritakan kisah kita?” tanyamu sore itu sambil menyuap baso kuahmu.
Kuamati
kamu bergumam seperti biasa, tak terdengar namun terbaca ekspresinya. “Bukan
begitu?” tanyamu lagi sambil menatapku yang sedari tadi lupa bahwa aku juga
sedang makan. Kujawab dengan anggukan kecil sambil menyuap makananku.
Sebenarnya aku tidak mengerti apa yang kau bicarakan, tetapi aku senang
melihatmu puas dengan jawabanku.
“Kapan
lagi kita akan main teka-teki?” kususul pertanyaan ini saat kau mulai meneguk
es tehmu. Kamu tidak menjawab karena kepanasan. “Ah sini kuberi kau AC.”
Lanjutku sambil meniupimu yang kepanasan. “Mukamu memerah, mirip teh panas.
Hehehe.” Teka-teki sudah terjawab.
Kamu
suka berjalan sendiri sambil menggunakan headset ditelingamu sambil menutup
mata. Katamu biar aku mau pulang denganmu dan menuntunmu pulang. Kamu banyak
alasan. Katamu kalau hidup tidak disertai dengan alasan, maka kamu lebih
memilih mati. Tapi kamu tidak bisa mati karena katamu sewaktu akan masuk surga
kamu ditanya alasan dan kamu ngotot bahwa tidak punya alasan. Maka kamu kembali
kedunia. “Masih tidak ingin punya alasan?” tanyaku.
“Ada
alasanku.”
“Apa?”
“Mencintai
kamu.”
Ah
kamu tidak perlu membuang waktumu hanya untuk mencintai aku. Tapi aku senang
kamu mencintai aku. Kamu tidak jelas. Kemarin kamu bilang sayang dengan bunda
mu, sekarang kamu bilang sayang ke aku.
“Kalau
aku sayang dengan bunda karena dia yang menguatkan aku. Tapi aku sayang sama
kamu karena kamu menjadi alasan untuk aku kuat.” Kamu mulai memamerkan ototmu sambil
sedikit bersenandung. “Boleh tidak?”
Kutatap
matamu. Aku tidak yakin kamu serius. Bahkan sejauh aku mengenalmu kamu tidak
pernah benar-benar serius kecuali saat kamu menghitung berapa nyamuk yang
berhasil kamu bunuh dirumahmu kemarin sore. “Kamu tidak boleh serius.”
“Aku
hanya ingin bertanya alasanmu.” Kamu mulai serius. Ah aku tidak pernah sanggup
menanggapimu yang benar-benar serius membicarakan kita. Aku bisa saja muntah
didepanmu karena perutku dapat tiba-tiba tercampur dan membuat mual hanya membicarakan
kita.
“Aku
tidak ingin kita dibicarakan. Aku sudah senang dengan kita yang sekarang.”
Sahutku lirih.
Kamu
hanya mengangguk dan mulai berjalan lagi. Akhirnya aku tidak perlu kabur darimu
untuk menghindari pertanyaan itu. “Kemarin kamu kemana?” alihku.
“Menanam
padi.” Jawabmu singkat. Aku tahu kamu akan melanjutkan. “Untuk makanku supaya
bisa kuat menjagamu. Hehehe..”
“Hehehe...”
Kamu
diam.
“Penjagaku
tidak makan padi.” Gerutuku asal. “Tapi penjagaku suka berimajinasi.”
“Iya
padinya imajinasi kok..” Ah kamu membela diri. Kamu mau jadi penjagaku tapi
kamu tidak mau terikat denganku.
“Aku
menjagamu dari sini saja. Biar bisa kulihat dari jauh kalau ada yang mau
jahatin kamu. Kalau aku didekat kamu, nanti kalau tiba-tiba ada yang menyerang
dan aku tidak selamat tidak ada lagi yang menjagamu. Aku harus selamat, makanya
aku tidak mau terlalu dekat denganmu.” Kamu mulai berlari sedikit menjauh dari
aku yang berjalan pelan. “Tapi jauhnya segini saja ya, aku tidak kuat harus
terlalu jauh dari kamu. Mataku minus, nanti tidak bisa melihatmu dengan jelas.”
“Hahahahaha...”
aku tertawa.
“Jangan
ketawa.” Bentakmu serius. “Nanti aku melanggar kata-kataku untuk tidak terlalu
dekat dengan kamu.”
“Kenapa?”
“Karena
aku suka.”
“Tapi
kamu tidak akan selalu bisa melihat senyumku. Suatu saat senyumku akan jadi
milik orang lain.”
“Aku
suka melihatmu ketawa. Besok juga tetap sama.”
“Kamu
cemburu?”
“Tidak
kalau ketawamu bisa kukantongin.”
“Kamu
tidak harus mengkantongi ketawaku.” Kuimbangi langkahmu yang besar-besar. Kamu
menatap lurus ke jalan. “Aku akan terus ketawa asalkan kamu yang menjadi
alasanku ketawa.”
“Maaf..”
mukamu murung.
Aku
menyesal sudah mengatakan itu. Kamu hanya diam saja tidak melanjutkan kata-katamu.
Aku mulai panik, kuremas-remas rokku sambil menatapmu penuh harap. Air mukamu
sudah berubah murung. Tidak seharusnya kuutarakan keinginanku mengenai hal ini.
“Aku
bukan komedian.” Lanjutmu singkat. Aku diam. Kamu masih saja tidak bisa serius.
“Tapi
kamu mau?”
“Tidak
tahu besok.”
Aku
dan kamu terus berjalan menuju rumahku sebelum kamu sendiri pulang kerumahmu
yang jalannya berlawanan arah. Sudah sore, sudah mulai lapar lagi perutku.
Katamu kalau makanku banyak nanti topeng yang kamu buatkan untukku tidak akan
muat lagi karena pipiku makin besar. Kamu buatkan aku topeng dari potongan
fotomu yang dilubangi bagian mata dan hidungnya. Katamu itu bukti bahwa kamu
itu ganteng dan sebentar lagi topengmu akan menjadi idola masyarakat. “Aku
punya pertanyaan.”
Jangan
lagi soal kita. Aku lebih memilih dipaksa mengerjakan tugas trigonometri
daripada menjawab soal kita. “Apa?”
“Kapan
buaya kita beranak?”
“Mereka
bertelur.” Aku menatapmu. Ya, aku tahu aku harus masuk ke dunia imajinasimu
lagi. “Kenapa memang?”
“Kemarin
buaya tetanggaku beranak. Dia menjerit sambil nangis-nangis. Aku kasihan dengan
tetanggaku.” Kamu menatapku dengan bibir diruncingkan. “Kamu tidak percaya.”
“Aku
percaya padamu.”
“Hehe
makasih.”
“Kalau
kita?”
“Mungkin
besok.”Jawabku sekenanya.
“Jelaskan
dulu dari awal sebelum besok.”
“Kukira
besok kita masih akan bersama.”
“Siapa
tahu aku diculik.” Kamu pergi saat telah sampai didepan rumahku. Seperti biasa
dengan segenggam jambu air yang tumbuh didepan rumahku. Kamu selalu seperti
itu, tetap pada kebiasaanmu yang mulai kumaklumi dan kuhafal setiap waktunya. Kamu
tidak pernah berubah, selalu saja tidak pasti. Dan aku masih saja sama, takut
menanyakan kepastian itu sendiri.
“Jangan
sampai diculik, kamu besok harus menjemputku. Aku tidak berani pergi sendiri.”
“Kamu
tahu aku ada dimana.”
Jangan
sampai hatimu yang diculik maksudku. Kamu sempat hilang dulu. Dan aku tidak
tahu kemana harus mencarimu waktu itu. Aku tidak akan pernah menceritakan
secara detail seperti apa keterpurukanku kala itu. Kehilangan kamu. Mungkin itu
yang membuatku terbiasa dengan samar-samarmu.
Aku
masih tidak bisa tidur, seperti biasa aku masih menunggu kamu yang katanya akan
mengunjungiku tiap malam lewat jendela kamar naik sapu terbang. “Kalau kamu
lelah tidur saja. Nanti aku datangnya di mimpimu.” Katamu lewat telepon
beberapa bulan yang lalu. Tapi pada kenyataannya sampai aku tertidur kamu tidak
pernah datang ke mimpiku. “Oh aku sibuk bantuin bunda masak-masak di mimpinya.”
Jawabmu sewaktu kutanya perihal hal ini. “Besok kalau kemampuanku sudah naik
level, aku mau loncat-loncat dari mimpi bunda dan ke mimpimu.”
“Jangan
nanti kamu capek.”
“Kan
itu cuma mimpi.”
“Aku
maunya kamu datang pakai sapu terbang aja.” Lalu aku tertidur dan kamu bohong
lagi. Kamu tidak datang.
Kalau
aku ditanya teman-teman mengapa aku suka kamu. Kubilang kamu sebenarnya
superhero yang lagi menyamar untuk menemukan penjahat sesungguhnya. “Sebenarnya
aku sudah menyelesaikan misiku, menyelamatkan kamu dari mantanmu yang jahat.” Itu
alasan pertama yang kamu ungkapkan ke aku. Kamu suka alasan kan.
“Terus
mengapa kamu tidak pergi?”
“Karena
aku ingin menjagamu.”
“Tapi
kamu menjauh.”
“Ya
karena aku dan kamu bukanlah kita.”
Alasanmu.
-mth
Gilaaaaaa dalem
BalasHapus