Visitors

Kamis, 11 Oktober 2018

Bintang dan Matahari


“Malam telah larut, pergilah tidur..” katamu sambil menyesap kopi hitam buatanku. Duduk menyilangkan kaki di beranda rumahmu, sambil sesekali mengangguk melantunkan irama musik yang hanya kamu sendiri yang tahu.
Aku menggeleng. “Tidak aku masih ingin disini menemanimu.”
“Tak perlu, malam ini aku ingin sendiri. Pergilah tidur, malam bukanlah tempatmu.”
“Siapa yang akan kamu ajak bercengkerama malam ini kalau begitu?”
“Kamu tak perlu tahu. Terimakasih untuk kopinya. Terlalu manis.”
Aku masih memainkan jemari kakiku yang telanjang, membiarkan sebagian warna nya memerah bergesekan dengan lantai yang sengaja kugores kasar. Menunggu kamu untuk berubah pikiran dan akhirnya mempersilakan aku duduk menemanimu. Kulirik kamu dari sudut mataku. Kamu tidak bergeming sama sekali. Hanya memandang ke langit sambil sesekali bersiul lirih. Aku menyerah.
“Besok pagi berikan hasilnya padaku..” Aku berlalu menuju tempat malamku. Meninggalkan kamu sendiri yang dengan sengaja meminta untuk ditinggalkan.
“Sering kukatakan, jangan berharap banyak padaku. Aku tidak memiliki apapun, demikian juga besok.”
“Apa aku meminta dunia padamu?” kuhentikan langkahku. Kamu masih saja tidak mengerti dan kamu masih saja memikirkan hal yang sama sekali tidak ingin aku ungkit. “Aku hanya meminta satu bintang dimana kamu habiskan sisa malammu tanpa aku.”
Kamu menghela nafas dalam sekali. “Pergilah aku ingin menyesap rokok.”
Kulihat kamu mulai mengeluarkan sekotak kecil dari kantong celanamu, mulai memantik dan sekejap tenggelam dalam duniamu sendiri. Kutatap lekuk tubuhmu yang meringkuk di beranda rumah, dengan secangkir kopi yang terlalu manis dan asap yang mengepul disekeliling rongga mulutmu. Kuurungkan niatku untuk kembali ke tempatku, pasti kubersimpuh di sampingmu.
“Dengarkan aku.”
Sontak kamu memandang aku, sekilas kutatap mata kesalmu karena aku yang tidak kunjung pergi walaupun sudah kau usir.
“Sekali saja dengarkan aku.” Kuulangi pintaku sekali lagi.
Kamu mulai mematikan api rokokmu, menaruh cangkir kopimu dan duduk menghadap aku. Kamu memandang mataku dengan pandangan yang berbeda dari biasanya. Aku tidak peduli. Aku hanya ingin kamu mendengarkan aku dengan waktu sedikitmu yang samasekali sudah tidak ada untukku.
“Terlalu sempitkah duniamu kini? Terlalu menyesakkan kah aku ini? Sehingga sekarang aku sama sekali tidak kamu turut sertakan dalam perjalanan kisahmu? Kalau katamu, saat ini kamu tidak pantas karena ketidakberadaanmu pandanglah aku. Aku sudah memutuskan untuk memusatkan seluruh pandanganku padamu. Lalu apalagi alasanmu?”
Kamu masih diam menatapku “Ada dunia yang harus aku urus kelak.” Jawabmu memalingkan muka.
“Sedang aku tidak akan ada dalam dunia itu?”
“Bukan itu mauku. Tapi aku tidak bisa memaksa, dan nyatanya esok kamu tidak akan ada disana.”
“Lantas dulu mengapa kamu menghangatkan rumahku yang kedinginan, jika pada akhirnya kamu hanya menelantarkan aku dirumah yang telah kita bangun. Lalu mengapa kini kamu dengan teganya berpayung pergi dan mulai mengoyak lahan liar untuk membangun rumah baru dengan yang lain?”
“Bahkan aku lupa mengapa kamu bersedia masuk.”
“Bermainkah kamu?” mataku mulai berkaca-kaca.
“Mungkin. Aku tidak tahu. Hanya terjadi begitu saja.” Aku menatapmu dan kamu benar-benar mulai kesal. “Kali ini dengarkan aku.” Sorot matamu mulai tajam, menikam aku yang sedang tidak bernafsu untuk membalasnya. “Masihkah kamu akan menyalahkan aku? Sedang kamu sendiri yang bersedia membukakan pintu untuk aku?”
“Aku tidak akan membukakan pintu untuk orang yang salah.” Aku membela diri.
“Lalu menurutmu aku ini benar?” matamu memutar seolah aku ini anak kecil yang nakal. “Sejak awal aku masuk dalam hidupmu, seharusnya kamu sudah tahu bahwa aku ini salah. Seharusnya kamu sudah tahu sampa batas mana kamu membiarkan aku masuk. Dan setelah semua ini, kamu dengan seenaknya menyalahkan aku.”
“Jika kamu tahu bahwa kamu salah, mengapa kamu masih saja mengetuk untuk masuk? Bukankah masih ada tempat diluar sana untuk yang menurutmu benar?” bela ku.
“Aku mengetuk semua pintu. Jangan terlalu merasa jika kamu spesial. Aku disini menikmati kopimu, bermalam dalam rumahmu. Tapi kamu harus tahu, ini tidaklah akan lama.”
“Aku hanya merasa kamu mulai menyakiti aku.”
Amarahmu mulai terbakar. “Cukuplah! Hanya kamu yang membiarkan dirimu tersakiti olehku.” Kamu membuang puntung rokok yang hanya beberapa kali kamu hisap. “Kau lihat aku, pantaskah aku?”
“Aku akan membantu memantaskanmu.” Jawabku lirih.
“Tidak bisa, kamu tidak akan bisa membantuku memantaskan aku. Sedang duniamu sendiri cukup aneh untuk kutinggali. Aku ingin berkelana, aku ingin mencari sesuatu yang baru. Bertemu dengan bulan pengagum bintang. Nyalaku tidak akan terang jika aku disini bersamamu.”
Aku meringkuk tak berdaya, gemetar mendengar gelora amarahmu yang terusik dengan kehadiranku. Sesenggukan aku membiarkan butiran air mata jatuh melewati pipiku.
“Kamu dan aku terlahir beda..” lanjutmu lirih hampir tidak terdengar. “Sekuat apapun kita memaksa bersama, aku dan kamu tidak akan bisa bersatu. Aku meyakini sesuatu yang kamu tidak yakini, begitu pula kamu tidak bisa memaksa aku meyakini apa yang selama ini tidak ingin kuketahui.”
“Kurasa dunia yang berbeda akan saling melengkapi.”
“Bisakah aku bersinar jika bersamamu?”
Aku menggeleng.
“Atau bisakah kamu membuat banyak mata terlelap jika kamu hadir dalam malam gelap?”
Aku menggeleng sekali lagi.
“Seperti itulah, aku akan berusaha mencari bulan dalam gelapku. Agar dengannya aku bisa bersinar sendiri menghiasi gelapnya malam.”
“Lantas aku?”
“Kamu terlahir dalam terang. Bahkan tanpa aku kamu akan tetap bersinar. Duniamu dalam terang, dan aku dalam gelap.”
“Dan kini kamu membiarkan aku sendiri?”
“Kamu hanya belum mengerti, masih ada banyak benda langit diluar sana yang membutuhkanmu. Kamu bersinar terlalu terang, terlalu menyilaukan mata sehingga kamu tidak melihat mereka yang ingin bersinar bersamamu.”
“Tidakkah kamu mencintai aku?”
“Apapun yang terjadi, sebesar apapun cintaku takkan membuat aku dan kamu bersatu. Ingatlah, kita terlahir berbeda. Jika salah satu dari kita memutuskan untuk mengalah, itu akan mengacaukan semuanya. Biarlah berjalan apa adanya. Relakan yang sudah terjadi. Gelap tidak akan bisa bersatu dengan terang.”
“Merelakan bukanlah hal yang mudah.”
“Berhentilah berkorban untukku.” Pintamu “Kelak saat kamu berhenti berkorban, sinarmu akan lebih terang dan kamu akan melupakan aku yang singgah di kegelapan.”
Aku menyeka air mataku yang setengah kering menyisakan bekas di kedua pipiku. “Bisakah malam ini aku menemanimu? Besok aku akan pergi dan bersinar dalam duniaku. Biar aku melupakanmu, biar terakhir aku bisa mengingat kamu sebelum aku pergi dan kita tidak akan pernah bertemu lagi?”
Kamu menyunggingkan senyum tipis “Jangan singgah, jangan walaupun sekali. Biarkan aku mengusirmu. Biarkan terlihat normal sehingga akupun tidak harus berbasuh air mata. Biarkan mulai saat ini aku berusaha mencari terangku. Hargailah usahaku.”
Katamu membuat aku terbangkit, “Aku akan tidur. Besok aku harus bersinar.”
Kamu tidak menghiraukan kata-kataku. Melamun melewati pekatnya malam yang memang tidak bisa kuarungi.
“Dan jika kamu sekarang berusaha, janganlah menyerah bintang. Aku yakin dalam gelap duniamu, akan terpancar sinar paling terangmu suatu saat nanti. Aku tidak akan bisa melihatnya, andai aku kembali justru akan menyamarkan terangmu dan membuat semua kembali rusak. Tetaplah seperti itu bintang, sesaplah kopi pahit kesukaanmu dan mainkan asap rokok seperti kebiasaanmu.”
Bintangku tidak akan berubah, dia hanya akan bersinar dalam dunianya. Dunia dimana tanpa ada aku didalamnya. Dunia yang dibangunnya dengan jerih payahnya. Dunia gelap miliknya.
Berusahalah bintang, kelak dalam terangku aku akan mengenangmu. Menceritakan bahwa didunia gelap sana, ada bintang yang takkan berhenti berusaha untuk meraih sinarnya dan menghiasi pekatnya malam.
“Selamat tidur untukku, bintang berjagalah. Besok giliranku.” Aku berjalan pergi tanpa menoleh kepadamu sekalipun. Seperti pintamu aku tidak akan kembali. Aku akan bersinar dalam duniaku dan melupakanmu.
Aku akan merindukanmu.
Matahari.
-mth


Tidak ada komentar:

Posting Komentar