Visitors

Minggu, 10 November 2013

Malaikat Tuhan

                Kala itu mungkin mentari sedang lelah menyinari hari-hari, atau mungkin bulan enggan memantulkan cahayanya, bintangpun entah kemana sinar kecilnya, pelangi hanya satu warna. Malaikat itu terbang sendiri membawa salah satu sepatunya yang basah oleh air hujan yang sedari tadi mengguyur disertai petir. Yah hari yang membosankan dan mengerikan.
                Apa yang bisa kamu lakukan? Sebagai manusia yang dengan mudahnya mencintai, sebagai lelaki yang dengan mudahnya mengumbar janji, atau sebagai wanita yang tak henti-hentinya merayu. Bisa apa kau memperbaiki dunia ini. Malaikat itu mulai menangis ditepi danau buatan masyarakat desa. Sepatunya entah kemana lagi. Oh malaikat, sayapnya sudah tidak lagi utuh. Bulu putihnya ternodai oleh cipratan jalanan tanah yang dilindas ban mobil, sayap satunya robek terkena ranting pohon yang belum lama ini terbakar akibat tersambar petir.
                Aku mengenal air mata itu, air mata yang sering keluar terdesak perihnya himpitan luka. Menetes perlahan tak ubahnya gerimis pagi hari, tertutup lebatnya kabut. Wajah itu tak terlihat lagi. Tapi bisa kulihat tangan malaikat itu gemetaran dan penuh darah. Satu tatto ditangannya dengan simbol kupu-kupu tampak lusuh, tidak cocok lagi dengan kulitnya yang semakin pucat. Malaikat itu masih saja menangis tersedu-sedu.
                Aku ingin bertanya mengapa dia ada disini? Didunia yang kian tak jelas keadaannya. Tapi aku takut, tatapannya saat menangis seakan memiliki amarah yang bisa keluar kapan saja. Tapi rasa penasaranku lebih berani daripada rasa takutku kepada pemilik mata biru emerald itu.
                Kujulurkan tanganku, memberikan sapu tangan kuning yang lebih lusuh dari baju gembalaku. Malaikat itu menoleh tanpa ekspresi, tangannya yang gemetaran meraih sapu tanganku. Aku yakin malaikat itu tidak bisa berbicara. Astaga Tuhan, dia seorang malaikat! Tetapi mengapa banyak sekali kekurangan didalam dirinya? Dia bahkan sudah tidak enak lagi dilihat!
                “Kau didunia? Apa tempat malaikat memang didunia?” kataku perlahan. Walaupun aku tahu malaikat itu tidak bisa berbicara tetapi aku masih berharap malaikat itu akan menjawab pertanyaanku walaupun dengan anggukan ataupun gelengan.
                Semenit, dua menit berlalu. Malaikat itu tidak melakukan apa-apa. Akhirnya dia memandangku dengan mata besarnya yang layu. Tangan kurus dan pucatnya bergerak pelan menelusuri tanah coklat yang basah akibat hujan. Aku tak tahu apa yang dilakukannya. Aku berharap malaikat itu menjelaskan sesuatu kepadaku. Yang kutau dengan pikiran terkuatku malaikat itu mulai membuat garis-garis gambaran dengan kuku kotornya. Aku berusaha memahami sepenuhnya.
                Sekitar tujuh tahun yang lalu, Tuhan mengutus malaikat itu untuk menjadi malaikat penjaga dengan menjaga seorang anak laki-laki yang lucu..
                Aku semakin bingung dengan arah perkataannya. Benar-benar tidak sesuai dengan pertanyaan pertama yang kuajukan. Sebentar.. aku hanya mengajukan satu pertanyaan kepada malaikat itu. Kupegang bahu malaikat yang masih terisak itu, perlahan hawa dingin dan panas mulai merambatiku. Aku mulai terbawa dengan dunia yang malaikat itu maksud. Aku seakan dihembus sang waktu kedalam kejadian itu.
                Lelaki manis itu seperti laki-laki pada umumnya. Dia senang bermain bola dan bukan boneka barbie. Tiap pagi ibunya selalu menemaninya berangkat sekolah. Lelaki kecil itu dapat melihat malaikat penjaganya. Setiap hari malaikat itu selalu setia menemaninya kemanapun lelaki itu pergi, apapun keadaan lelaki itu.
                Aku benar-benar tidak mengerti maksud malaikat ini. kalau dia memang ingin bercerita dan tidak menjawab pertanyaanku biar saja. Aku mulai merasa kesal..
                Seiring berjalannya waktu lelaki itu tumbuh besar. Wajahnya yang putih, rahangnya yang kotak dan hidungnya yang mancung memperindah dirinya. Malaikat itu masih sering menemaninya, malaikat itu wajahnya sama saja. Tidak berubah, tidak tambah tua. Tapi mengapa dia bisa tampak layu seperti itu? Seperti bunga mawar yang semakin menghitam.
                Prak! Aku terkejut. Didalam dunia malaikat itu, aku melihat lelaki itu berusaha melempari sang malaikat dengan berbagai benda. Lelaki itu terlihat marah. “Apa yang kamu lakukan?! Aku sudah tidak membutuhkanmu! Pergilah kau! Gara-gara kamu diriku sekarang hancur!”
                Apa maksud semua ini?! Bukannya malaikat itu adalah malaikat penjaga? Tetapi mengapa lelaki itu mengatakan bahwa malaikat itu telah menghancurkan hidupnya? Belum sempat rasa penasaranku terjawab malaikat itu mendekati lelaki yang dijaganya. Dia berusaha mengatakan sesuatu, tapi dia masih tidak bisa berbicara. Tubuhnya terlihat semakin rapuh. Akhirnya, dengan kekuatan terakhirnya yang kuketahui dari kalungnya yang semakin pudar dia menunjuk sebuah bola kaca yang terletak diatas meja belajar lelaki itu. Dan dengan satu sinar malaikat itu menghilang.
                Aku masih saja terperangkap didalam kamar lelaki itu. Tatapan amarahnya seakan sudah separo terbawa derasnya arus sungai. Dihampirinya bola kaca itu, entah kenapa bola itu tiba-tiba bersinar. Dan aku mendengar suara yang membuat lelaki itu terpana.
                “Aku tahu sudah lama aku menjagamu, aku juga tahu sudah berapa lama aku mengenal dirimu. Tapi yang aku pasti tahu, sejauh ini kamu benar-benar tidak mengenalku. Maafkan aku jika aku merusak kehidupanmu. Maaf aku sudah tidak bisa menjagamu, karena Tuhan tahu aku teah menyalahgunakan kehendakNya. Selama ini aku melindungimu dengan sepenuh kasih sayangku, tetapi kini kusadari aku sendiri tidak punya semangat tanpamu. Karena akhirnya aku tahu bahwa aku mencintaimu. Tapi aku tahu malaikat hanya bertugas untuk menjaga, tidak bisa mencintai bahkan dicintai. Maaf”
                Aku diombang-ambingkan dalam lautan longitudinal yang entah tak berujung. Akal sehatku belum bisa menerima kenyataan tadi dan aku tidak tahu aku harus bagaimana. Bagaikan tersentak aku tersadar, aku melihat mata malaikat itu mulai keruh dan sesaat dia terisak.
                Aku tak tahu harus bagaimana. Aku berdiri dan berjalan menjauhi malaikat yang semakin sedih itu. Malaikat itu telah dibuang oleh Tuhan kedunia karena melalaikan tugasnya. Aku kini tahu, sebagai manusia kita dengan mudahnya bisa mencintai dan dicintai. Kubiarkan sapu tanganku dengan malaikat itu. Biarlah dia sendiri. Aku tahu malaikat hanya bertugas untu menjaga, bukan mencintai apalagi dicintai. -mth

Sabtu, 17 Agustus 2013

YOU..


“Kalau sampai saat ini aku masih mencintaimu apakah masih ada harapan untukku? Apakah suatu saat nanti aku bisa mendapatkanmu? Atau haruskah aku berhenti karena memang tidak ada kesempatan lagi?”

                Masa lalu memang ada untuk dikenang, tapi tidak sepenuhnya masa lalu untuk dikenang. Kalau memang itu menyakitkan ambilah saja yang bisa kamu pelajari dan buanglah itu dari angan-angan kamu. Majulah dan mulai melangkahlah.  Jangan takut dengan jalan yang sudah tidak lagi halus, yakin kamu bisa. Jangan pernah malu dengan masa lalu, seperti kamu selalu yakin dengan masa depanmu. Jangan kamu rasa masa lalu dengan penuh penantian adalah hal yang buruk. Tidak. Justru dengan masa lalu itu kamu menjadi kuat.
Kamu menjadi mengerti apa yang disebut dengan cinta dan kasih sayang yang tulus itu. Mencintai dengan penuh kasih, kesabaran, murah hati. Cinta dari dalam hati yang tulus diberikan kepada seseorang dan cinta yang tidak memegahkan diri. Cinta yang tidak mengenal kesombongan dan tindakan yang tidak sopan. Cinta yang tidak mencari keuntungan sendiri, cinta yang selalu pengertian akan segala persoalan yang dialami. Cinta yang tidak pernah mempermasalahkan kekurangan orang lain dan cinta yang selalu ikut bergembira dalam kebenaran. Cinta yang bisa menerima segala sesuatu, percaya akan sesuatu, dan mengharapkan sesuatu. Cinta yang sepenuh hati menunggu semuanya dan berharap penuh keajaiban. Dan cinta yang tidak berkesudahan.
                Aku bukan masa lalunya, aku tidak pernah terlibat apapun dalam tiap detail jalan kehidupannya. Bahkan mungkin aku tidak pernah ada dalam memori ingatannya. Tapi sayangnya aku selalu menyertakan dia dalam setiap hidupku. Sudah sejak lama memang, tanpa harapan tapi dengan ikhlas aku menaruh sosoknya dalam hati. Tersimpan, rapi. Entah mengapa aku tidak pernah menyesali hal itu. Justru aku merasa senang atau lebih tepatnya aku merasa benar-benar menjadi wanita yang kuat dan hebat. Memendam perasaan bukanlah hal yang mudah bagi setiap manusia, tapi aku merasakan suka duka itu. Aku sering merasakan sakit karena memendamnya, aku bahkan sering menangis tiap malam. Meskipun sampai saat ini aku tidak yakin apakah semua akan terbalas. Bahkan aku tidak yakin apakah dia akan mengerti semua ini. Jika jawabannya “tidak” aku mengerti. Meski tidak ikhlas menerima kenyataan yang mungkin menyakitkan, tapi jika itu keputusannya aku tau.
                Memendam sebuah perasaan yang berawal dari ketertarikan hingga menjadi sayang membutuhkan proses yang panjang. Entah apa yang diharapkan dari itu, mungkin balasan? Memandangnya seakan dia sangat sempurna dibalik banyak kekurangannya, memperhatikan secara detail tiap kebiasaannya yang akan menjadi indah dimatamu. Kebiasaan yang membosankan memang, tapi merasakan jantung yang duakali lebin cepat berdetak didadamu adalah sensasi yang luar biasa. Mata mungkin tidak akan berhenti mencuri pandang darinya walaupun badanmu akan mati gaya. Sebuah perasaan yang menyimpan banyak emosi.
                Aku mencintainya, bahkan sekarang aku sedang menyayanginya. Entah apa semua definisi tentang cinta aku merasakan untuknya. Memang ada dari bagian kecilku yang menginginkan untuk berhenti melakukan semua tindakan gila ini, tapi aku ingin membiarkan diriku terlarut dalam kerasnya emosi. Aku merelakan bila dia harus tergila-gila dengan kisah cintanya sendiri. Tapi yang aku tau, aku selalu senang melihatnya bahagia. Aku selalu senang melihat senyumnya, tawanya, candanya. Aku senang saat melihat matanya berkerut dan menjadi satu garis saat dia tertawa. Sudah kubilang aku menyukai semua bagian dari dirinya. Termasuk hatinya yang selalu tersedia untuk orang lain.
                Sampai pada suatu hari aku menyadari mungkin kesempatan dalam harapanku itu kini sudah tidak ada lagi. Sampai kenyataan sebenarnya mengharuskan aku berhenti untuk mengharapkannya, mencintainya, menyayanginya. Sampai kebenaran memaksa aku menerima kepahitan yang sungguh rasanya sangat pahit jika diresapi. Tapi sungguh, kenyataan dan kebenaran yang ada sama sekali tidak mengubah semua yang ada dalam diriku. Hanya satu yang berubah. Harapanku yang bernyala-nyala telah diganti dengan rasa ikhlas. Yah, memang aku harus ikhlas dengan semua ini. Toh selama aku menyadari bahwa aku menyayanginya, aku tahu bahwa suatu saat nanti entah kapan hal itu akan terjadi. Dan sekarang ini. Terjadi bahwa cinta itu tidak selamanya berjalan indah. Cinta akan mengalami kenangan pahit. Mencintai tanpa dicintai, cinta bertepuk sebelah tangan. Itulah. Mungkin menyadari dia sama sekali tidak mengetahui perasaan kita adalah sesuatu hal yang membuat kita sedikit lega karena kita tidak perlu merasa bersalah karena menyayanginya, kita tidak perlu merasa bersalah karena mengusik kehidupannya secara diam-diam. Aku memang sempurna dalam hal memendam perasaan, tapi aku buruk dalam mengungkapkan perasaan yang ada disini. Dihatiku.
                Jika kesempatan ini sudah habis, apa yang bisa aku lakukan? Aku tidak mungkin mengemis kepadanya. Aku tidak mungkin mengungkapkan ini semua kepadanya. Aku masih berani, aku masih kuat untuk memendam ini. Hanya saja aku takut, aku takut jika sampai saatnya nanti tidak ada kesempatan lagi untuk aku mengungkapkan semuanya. Untuk aku berkata kepadanya apa yang aku rasakan sejak dulu sampai sekarang. Apa yang selalu aku pikirkan tentangnya. Seberapa besar rasa sayangku padanya. Aku takut itu tidak akan terjadi. Bahkan hanya untuk mengatakan saja aku terlalu takut. Aku berani mencintainya, aku berani mengharapkannya dalam diam.
                Sudah aku merasa sudah cukup. Tapi kalau memang ada kesempatan dan kebenarian untukku bertanya kepadanya. Aku hanya ingin dia menjawab pertanyaanku ini. Kalau sampai saat ini aku masih mencintaimu apakah masih ada harapan untukku? Apakah suatu saat nanti aku bisa mendapatkanmu? Atau haruskah aku berhenti karena memang tidak ada kesempatan lagi? -mth

Rabu, 31 Juli 2013

Langit Mendung Untuk Juli


“Terkadang cinta membutuhkan pengorbanan, walaupun berat rasanya. Tetapi melihat seseorang yang kita sayangi bahagia adalah kebahagiaan kita sesungguhnya”
Minggu pagi dibulan Juli. Kehangatan mentari pagi membuatku tak bisa berhenti menengadahkan muka ke arah datangnya sinar. Embun masih sedikit tersisa di dedaunan yang rimbun. Bunga-bunga bermekaran diiringi kicauan burung. Ini masih pagi kawan, pagi yang indah. Entah ada apa yang terjadi di siang atau malam nanti. Tapi aku suka pagi ini.
Kriiiiing... bunyi ponselku memecah kesyahduan hatiku. Aku mulai jenuh dengan kepenatan ini, aku perlu kedamaian. Aku masih mengacuhkan bunyi ponselku. Aku masih saja terbuai oleh indahnya pagi. Aku tidak ingin memperdulikan siapa yang berusaha menghubungiku. Ingin rasanya kubanting ponselku dan tak ada lagi hal yang menggangguku. Namun kakek tua yang duduk di seberangku segera mengagetkanku dengan amarahnya. Aku dikira tuli karena tidak mengangkat dering ponsel yang memekakan telinga dan berbunyi berulang kali. Segera aku meminta maaf kepada kakek tua itu dan mencari ponselku yang tersembunyi di dalam ranselku beserta barang-barang tak berguna lainnya. “Ah ini dia!” batinku. Kulihat pada layar ponselku 23 missed call. Aku penasaran, siapa orang yang menghubungi aku sekian banyaknya di hari yang masih pagi ini.
            George. Aku benar-benar tidak percaya. Lelaki blasteran Inggris ini menghubungiku hingga 23 kali. Lelaki ini pernah menjadi spesial untukku, yah sekitar 7 tahun. Semenjak aku diterima di Universitas Kedokteran UGM laki-laki itu menjadi seniorku. George dulu sering mengerjaiku sampai aku ingin menangis karena ketakutan. Namun karena dia baik maka kami berteman. Kami menjadi dekat dan kami menjalin ikatan cinta selama 7 tahun sebelum akhirnya dia meninggalkanku bersama wanita yang dikenalkan oleh ibunya dan pindah ke Bali menyusul wanita itu. Aku hancur pada saat itu, selama 3 bulan tiap malam aku menangis. Fotoku bersamanya yang selama 7 tahun setia menghiasi dinding kamarku hancur berkeping-keping dalam satu malam. Bagaimana bisa George tega meninggalkan aku yang telah 7 tahun bersamanya untuk wanita yang dijodohkan oleh ibunya bahkan dia sendiri tidak tau siapa dan bagaimana sifat wanita itu. Terakhir kali George tidak memberi penjelasan apapun. Langsung pergi tanpa pamit. Aku kalut. Kedua orangtuaku yang sedang di New York  turut menghubungiku. Aku tidak tahu darimana mereka mengetahui aku seperti itu. Mungkin dari Aliesha sahabatku yang selalu menjadi teman curhatku sekaligus teman masa kacilku atau bisa dari Mbok Min yang sering ketakutan melihatku seperti orang gila saat itu. Aku tidak tahu. Dan sekarang George kembali menghubungiku. Aku bimbang dan penasaran. Untuk apa lelaki itu menghubungiku? Ingin kembali kepadaku? Untuk beberapa saat aku diserang perdebatan oleh batinku sendiri. Dan, rasa penasarankulah yang menang.  Aku menghubungi George balik, untuk sesaat nada sambung berbunyi.
            “Clarissa?” suara itu tidak asing ditelingaku. Mulutku terasa kaku untuk menjawab panggilannya. Untuk sekali setelah sekitar 2 tahun aku tidak berhubungan dengannya. Dia masih memanggilku Clarissa. Nama sapaan sayangnya dulu. Dan sekarang aku berbicara dengannya. “Clarissa, ini aku George. Kamu sudah lupa? Hallo?”
            Cukup lama aku terdiam sampai aku sadar aku harus menjawabnya. “Oh hai George. Maaf, kamu masih memanggilku dengan nama itu?” hati-hati aku berbicara dengannya. Takut bila dia mendengarkan suaraku yang ingin menangis karena rindu yang teramat dalam.
            “Oh maaf. Hai, Anne.” Terdengar suara kaku dan asing darinya. Dia belum terbiasa. Belum.
            “Hai.” Aku mencoba friendly. “Ada perlu apa George?”
            “Aku ingin bertemu denganmu. Aku rindu denganmu. Aku sedang di Jogja Anne.” Kata-kata yang langsung terucap dari mulut George tanpa basa-basi itu membuatku terbelalak. Aku tidak tahu harus berkata apa lagi.
            “Tolong Anne, aku tahu kamu masih marah denganku. Tapi aku benar-benar membutuhkanku. Aku akan menunggumu siang ini di tempat biasa kita dulu. Tolong Anne datanglah. Sore nanti aku sudah kembali ke Bali. Tolong Anne..” Telepon terputus begitu saja. Aku masih diam. Aku belum bisa berfikir jernih. Aku masih belum bisa menerima pernyataan George tadi.
            Matahari mulai beranjak siang. Aku mulai beranjak tak keruan. Dihari libur seperti ini aku seharusnya bersenang-senang. Oh Ageorge Zeswark, lelaki yang pernah mempunyai mimpi bersamaku. Aku benar-benar tidak tahu apa yang harus aku perbuat saat ini. Aku memutuskan untuk pulang dan membuat secangkir kopi untuk menenangkan fikiranku. Namun ternyata aku tidak bisa. Fikiranku terus saja memikirkan George. Aku mulai berusaha mengikuti keinginan hatiku dan mulai berfikir tidak rasional. Aku menurut keinginanku yang tersembunyi dan membawaku ke kamarku dan membawaku bercermin. Aku terlihat tidak segar. Aku mulai mematut bentuk wajahku agar terlihat senang. Mungkin itu keinginan paling dalam ku saat ini. Tiba-tiba, aku merasa suara hatiku berteriak. Bukan itu yang dimaksudkan, lalu mengapa dia membawaku kedepan cermin? Seakan menjawab pertanyaanku sendiri aku tahu apa maksudnya. Kubuka lemari pakaianku, aku memilih baju yang sering kugunakan saat bertemu dengannya. Aku kini mengerti. Hatiku merasakan senang akan bertemu dengannya. Entah apa dulu yang ia lakukan denganku, aku masih senang dan aku masih bisa menerimanya. Aku siap menerima George dalam keadaan apapun. Aku mengerti dengan apa yang dimaksud kasih sayang yang tulus. Ya kasih sayangku untuk George.
            Aku merasa bersemangat. Kupersiapkan diriku sebaik-baiknya. Pukul setengah satu siang, kulajukan mobilku perlahan menyusuri jalanan kota Jogja yang asri. Lagu M2M – Dear Diary mengalun perlahan. Aku sangat senang. Kuparkirkan mobilku dibawah pohon perindang rumah makan itu. Kembali aku merasakan suasana 2 tahun yang lalu. Selama 7 tahun aku sering kesini bersama George dan berbagi kebahagiaan. Tempat ini tidak mewah namun memberikan suasana yang nyaman. Aku ingin menangis. Memori-memori tentang George kembali mengingatkanku akan apa yang telah dia lakukan untukku. Kulangkahkan kakiku ke pintu  masuk. Masih dengan penjaga yang sama. Tersenyum padaku seakan ingin berkata “Sudah lama anda tidak kesini.”
            Aku berhenti tepat dibelakang seorang pria. Aku tidak dapat emnahan perasaan ini aku mulai menangis perlahan. Lelaki itu masih dengan rambutnya yang cepak, postur tubuhnya yang terlihat besar dan kulitnya yang kemerahan. Aku ingin memeluknya, aku ingin mengatakan kepadanya aku masih menyayanginya. Aku rindu dengannya. Tiba-tiba dia berbalik dan melihatku menangis dibelakangnya. Tatapan matanya yang hangat tiba-tiba menjadi keras. Aku suka tatapan matanya seakan dia ingin menjadi pelindung nomor satuku. Dia memelukku. Aku benar-benar tidak dapat menahan tangisku. Aku menangis terisak-isak dipelukannya. Pelukan yang dulu pernah menjadi milikku, namun kini milik orang lain. Aku tidak peduli, aku juga tidak peduli bahwa pelanggan restoran itu melihat kami dengan tatapan aneh. Aku hanya peduli satu hal, aku rindu dengan George dan aku menyayanginya.
            “Ada apa denganmu?” suara lembut itu berbisik di telingaku. Aku masih memeluknya.
            “Aku rindu denganmu George..” kataku singkat namun mewakili seluruh perasaanku saat ini.
“Aku juga merindukanmu Anne.” Katanya sambil mengelus rambutku dan menyuruhku duduk. Pelayan segera mendatangi kami menanyakan pesanan. George hanya bilang “Seperti biasa.” Dan pelayan nampak bingung dan ingin bertanya apa maksud dari “seperti biasa” tapi pelayan yang nampaknya sudah senior menghampiri kami dan memberi penjelasan kepada pelayan itu. Pelayan itu mengangguk mengerti dan kembali. Kami kembali bertatapan dan George memegang tanganku. Aku rindu itu.
            “Lama tak berjumpa Anne, apa kabarmu?” dia memulai pembicaraan.
            “Yah George seperti inilah aku.”
            “Kau tahu Anne entah mengapa aku sangat merindukanmu dan aku..” George belum selesai berbicara namun aku tidak tahan dan tidak siap menerima perasaan ini. Aku tidak siap mendengar apa yang akan George katakan.
            “Bagaimana kabarmu dengan wanita bali itu George?” sengaja kusela bicaranya. Aku berusaha memasang wajah ceria. Aku tak ingin terlihat lemah di depan George, lelaki yang sudah meninggalkanku. “Bagaimana setelah perkenalan pertamamu George?”
            “Dia teman masa kecilku Anne. Dan saat aku bertemu dengannya kami merasa dekat. Ada sesuatu diantara kami yang membuat kami cepat menjadi sepemikiran. Saya rasa kami sangat cocok.”
            Oh Tuhan, mengapa dia tega mengatakan hal itu didepanku. Aku ingin menangis. Aku merasa bodoh telah menanyakan hal yang tidak ingin aku tahu jawabannya. Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi. “Oh..” jawabku singkat. Tuhan tolong aku. “Lalu mengapa kamu ingin menemuiku George?” kuberanikan bertanya.
            “Sudah kubilang Anne, aku merindukanmu. Aku tidak akan melupakan semua tentang kita begitu saja.”
            Hatiku meleleh tapi aku harus sadar, George bukan milikku lagi.
            “Anne, aku ingin bertanya sesuatu kepadamu.”
            “Katakan saja George.” Oh tidak Tuhan. Apa yang ingin dia tanyakan? Apa aku sanggup menjawab pertanyaannya? Seharusnya aku mengatakan bahwa aku tidak bisa menjawab pertanyaannya. Mengapa keinginan hatiku dan fikiranku tidak bisa menjadi satu tujuan? Mengapa aku menjadi tidak rasional di depan George? Batinku berdebat. Bibirku bergetar. Aku tak sanggup membuka mata. Aku terlalu takut. “Katakan George.” Kataku sekali lagi seolah aku ingin membuatnya percaya bahwa aku sudah ikhlas menerima ini.
            “Jika aku menikah dengan Dewi, wanita asal Bali yang dikenalkan oleh ibuku apalah kamu ikhlas?” George bertanya perlahan. “Aku tahu aku mungkin terlihat bodoh menyanyakan hal ini kepadamu. Tapi aku membutuhkan jawabanmu akan hal ini Anne. Aku tidak ingin kecewa saat menikahi Dewi..”
            Mengapa George tega mengatakan pertanyaan tolol ini? Pertanyaan menakutkan dan pastinya tidak bisa kujawab dengan hati yang mantap. Pertanyaan George membuat hatiku sakit. Aku tidak berani menjawab pertanyaannya. Aku ingin berteriak bahwa aku tidak rela. Tapi aku takut, takut George akan patah hati mendengar jawabanku. Takut George menganggap aku egois dengan tidak membiarkan dia bahagia dengan kehidupannya yang sekarang. Aku bingung harus menjawab apa. Aku tidak yakin apakah George akan mau berteman denganku jika aku menajawab tidak. Keadaan itu memojokkan aku untuk menjawab bahwa aku ikhlas. “Yes George, aku ikhlas.” Kataku perlahan. Aku ingin menangis. Aku tidak kuat menahan perasaan ini.
            “Apa kamu yakin?”
            Tidak George, jelas aku tidak yakin. Aku menyayangimu dan aku tidak akan membiarkanmu bersama wanita lain. Egois memang tapi aku tidak mau melihat diriku seperti ini. George tolong mengerti aku. Apa aku harus berteriak agar kamu sadar?! Aku ingin menjawab tidak. Namun apa dayaku? “Ya George, demi kebahagiaanmu?” jawabku. Aku langsung menarik diri.
            Kulajukan mobilku dengan kecepatan tinggi. Aku tidak peduli dengan keadaan jalan yang ramai. Aku tidak peduli. Aku menangis. Masih teringat kata-kata George saat bertemu tadi. Tiba-tiba ponselku berdering. Kubuka 3 pesan yang masuk. Dari George.
            From: George
                        Hai Anne, sorry tentang tadi. Namun aku benar-benar membutuhkan kepastian darimu.
            Pesan kedua dari George lagi.
            From: George
                        Bagaimana Anne. Aku ingin jika kamu menjawab ikhlas itu berasal dari hatimu.
            Pesan ketiga dari George lagi.
            From: George
                        Dan yang terakhir aku ingin masih memanggilmu Clarissa. Aku tidak menyukai memanggilmu Anne. Terimakasih untuk semua dan maafkan aku Clarissa..
            Aku menangis. Aku tidak bisa mengatakan apapun. Semua pesan dari George tidak ada yang aku balas. Aku ingin dia sadar bahwa aku masih mencintainya. Aku menyukai George saat dia memanggilku siapa saja. Clarissa atau Anne aku tidak perduli.
            Seminggu setelah kejadian itu, aku sudah bisa sedikit melupakan kejadian itu. Aliesha sebagai sahabatku yang baik sering mengunjungiku dan menghiburku. Terkadang dia membawakan aku junk food dan membuat moodku kembali normal. Aku sudah berusaha melupakan George meski terkadang aku masih teringat akan dia.
            Malam hari di Jogja terasa hangat. Di Alun-Alun Kidul pasar malam merayakan sekaten digelar. Aku mendadak seperti anak kecil. Aku ingin pergi kesana. Aku menghubungi Aliesha untuk menemaniku karena kedua orangtuaku sedang ke Thailand jadi tidak mungkin untuk menemaniku. Suara Aliesha terlihat buruk tapi dia mau menemaniku. Sepanjang perjalanan aku melihat ada yang aneh dari gelagat Aliesha. Aku merasa ada yang ingin dia katakan kepadaku. Namun saat aku bertanya dia hanya mengatakan bahwa moodnya kurang baik. Aku berharap setelah pulang dari pasar malam moodnya semakin membaik.
            Pasar malam di Jogja sangat unik menurutku. Untuk wanita seumuran aku dan masih terbuai dengan ramainya pasar malam bisa sedikit dibilang norak. Yah, memang dari kecil aku dimanja oleh kedua orangtuaku. Namun aku belum pernah dibawa kepasar malam. Aku menikmati pasar malam pertama kali adalah ketika aku SMA dan itupun harus membohongi Mbok Min dan saat kedua orangtuaku sedang di Amerika. Saat itu Mbok Min seperti orang kesurupan karena sampai jam 11 malam aku belum juga pulang. Namun saat aku kuliah aku sering menikmati pasar malam, kadang kau pergi bersama George. Kenangan itu membuatku lupa akan jalan yang ramai dan macet. Kota Jogja terlalu indah, banyak wisatawan yang datang untuk menikmati keunikan dari kota gudeg ini. Bahkan sampai aku menjadi dokter di sebuah rumah sakit swasta ini aku masih saja terbuai dengan keindahan kota ini.
            Pukul 8 malam tepat. Malam yang sempurna untukku menjadi gila akan indahnya taman pasar malam ini. Tidak peduli berapa uang yang aku habiskan untuk menaiki wahana yang dibilang mengasyikan, tidak peduli uang recehku habis untuk membeli berbagai macam jajanan kampung yang disediakan penjaja makanan. Aku senang, aku bahkan sering melupakan Aliesha yang sering berjalan dibelakangku. Aku merasa malam ini sempurna. Namun tiba-tiba aku melihat seorang yang sangat kukenal. Aku kenal rambut itu, aku kenal mata itu. George. Dan dia menggandeng seorang wanita mungil berkulit sawo matang. Wanita itu sama noraknya dengan anak kampung yang kurang berpendidikan dan terkesan nakal. Aku berhenti begitu saja ditengah jalan. Aku tidak peduli betapa orang merasa terganggu akibat aku yang menghalangi jalan mereka. Aku perlu Aliesha.
            Aku melihat Aliesha sudah menangis dibelakangku. Aku berusaha tegar. Aku tidak bisa mencerna apa yang telah terjadi. Aku tidak menangis. Mungkin wanita yang bersama George hanya teman kenalannya. Tidak mungkin wanita bali bernama Dewi itu mau ke Jogja hanya untuk menikmati pasar malam. Kurasa Bali cukup ramai dibanding Jogja. Aku terus berfikir sementara tanganku sibuk menenangkan Aliesha yang menangis tanpa sebab begitu saja.
            “Maafkan aku Anne..” Aliesha berbicara sangat lirik. Suaranya masih bergetar karena menahan tangis. Aku nyaris tidak bisa mendengarkan suaranya jika saja kepalaku menjauh 5cm dari bibirnya.
            “Apa maksudmu Aliesha? Karena kamu menangis disaat seharusnya aku bisa bahagia? Tidak Aliesha kamu tidak salah. Justru itulah sahabat. Kamu tidak perlu menungguku hingga moodku menjadi jelek untuk berbicara tentang masalahmu. Aku selalu ada untuk kamu dalam keadaan apapun Aliesha..” kataku mencoba menenangkannya. Aku tahu hati Aliesha sedang kalut. Meski aku tidak tahu apa masalahnya.
            “Bukan itu Anne. Maafkan aku telah berbohong kepadamu..”
            “Apa maksudmu Alie?” kulepas pelukanku. Kucari maksud dari kata Aliesha dari tatapannya, tapi sahabatku itu tidak berani menatapku. “Jelaskan padaku Aliesha!” Aku mulai menggertak. Aku tahu itu salah. Tapi aku sedang frustasi setelah melihat George bersama seorang wanita dan diwaktu yang sama Aliesha mengaku telah membohongiku.
            “Wanita yang bersama George, kau tahu?” Aliesha mulai berani menatapku.
            “Yah wanita yang berkulit eksotis itu? Ada apa dengan dia?”
            “Dia Dewi.”
            Aku tersentak. Entah mengapa aku tidak sanggup untuk merelakan George bersama dengan wanita itu. “Tapi apa maksudmu kamu berbohong kepadaku?”
            “Tadi siang George datang kerumahku..” Aliesha mulai membicarakan hal yang tidak masuk akal. “Dia datang bersama wanita itu. Dia memperkenalkan wanita itu sebagai Dewi tunangannya yang berasal dari Bali. Dan.. dan dia memberikan aku..”
            “Memberikan apa Aliesha?” Mataku mulai berkaca-kaca.
            “Undangan pernikahan.” Kata Aliesha lirih, lebih lirih dari orang berbisik. Tapi aku sanggup mendengarnya dengan keras dan jelas. Aku tidak bisa menerima ini. Aku menangis diantara ramainya pasar malam. Aku tidak peduli. Aku benci pasar malam sejak saat itu.
            Mengapa aku menyukai bulan Juli? Selain cuaca panas yang menyenangkan, Juli juga bulan dimana aku lahir. Hari ini 26 tahun yang lalu aku dilahirkan. Aku berasa sangat tua. Bangun tidur kuhampiri kaca yang tergantung di almari baju. Kupandangi keriput dini disekitar mataku. Aku sengaja mengambil cuti agar bisa bersenang-senang. Hidupku kacau akhir-akhir ini dan aku rasa aku membutuhkan refreshing.
            Kedua orangtuaku kembali ke Jogja tanpa memberitahuku. Membawakan aku roti yang besar dan makanan kesukaanku. Aliesha turut datang dan memberikanku sebuah kado yang lucu. Aku menyukai hari ini, walaupun ini tahun ke-3 aku merayakan ulang tahun tanpa kehadiran George.
            Sehari setelah ulangtahunku aku harus segera masuk kerja. Aku hampir terlambat dan sangat terburu-buru sebelum teriakan Mbok Min menggema memanggil namaku. “Mungkin kita kemarin terlalu sibuk merayakan ultah Non Anne sehingga lupa melihat kotak surat. Ada bingkisan untuk anda dan tanggalnya kemarin. Mungkin itu kado untuk anda.” Kata Mbok Min terburu-buru.
            Kubuka kotak kecil berwarna kuning itu. Kalung. Berliontin persegi dengan hiasan berlian berbentuk “C” ditengahnya. Aku tahu siapa pengirimnya namun aku masih mencari apakah ada surat dalam kotak itu. Aku menemukannya.
            Happy Brithday Anne Clarissa Hutajaya. Nggak terasa umurmu sudah 26 tahun. Terakhir aku merayakan ulang tahunmu saat kamu berumur 23 tahun. Apa perpisahan kita sudah lama? Nggak. Aku tetap merasa sampai saat ini kamu menjadi milikku. Aku ingin yang terbaik untukmu. Jaga dirimu.
            Clarissa, bisakah aku bertemu denganmu hari ini? Mungkin hari ini kamu sedang sibuk berulang tahun. Tapi aku memerlukan sedikit waktumu. Aku ingin meminta kepastian darimu. Sore ini aku sudah akan ke Bali, besok aku menikah dengan Dewi. Bisakah kau memberi aku kepastian apakah kamu merelakan aku menikah dengannya?
            Jawab itu ketika kita bertemu nanti. Oke? Aku akan menunggumu ditempat yang biasa sampai pukul 4 sore nanti. Bye. Love George.
            Aku menyadari bahwa surat itu dibuat kemarin dan jelas saja sekarang George telah ke Bali. Untuk.. untuk menikah dengan wanita itu. Aku ingin menangis. Langsung kulajukan mobilku menuju restoran kesukaan kami. Salam penjaga tidak kuhiraukan. Kutunggu di meja biasa kami. 2 jam aku disana menunggu George yang entah kemana. Aku menyadari bahwa perbuatanku sia-sia belaka. Aku berjalan lesu ke arah pintu keluar.
            “Mengapa anda baru datang sekarang?” penjaga pintu masuk itu bertanya kepadaku.
            “Apa maksudmu?”
            “Pacar anda kemarin menunggu selama 5 jam disini. Saya rasa dia menunggu anda. Tetapi karena anda tidak datang jam 4 dia memutuskan untuk pulang. Namun sebelum pulang dia menitipkan ini kepada saya untuk anda.” Penjaga itu memberikanku secarik kertas.
            Aku sudah menunggumu lama disini. Namun kau tidak juga datang Clarissa. Aku menganggap ketidakdatanganmu adalah tanda bahwa kau mengikhlaskanku. Kau tau Clarissa, sebenarnya aku berharap kamu bilang tidak. Karena jika kamu bilang tidak aku tidak akan menikah dengan Dewi karena aku masih mencintaimu. Namun aku bisa apa. Besok jam 10.00 aku resmi menjadi suami Dewi. Semoga kamu tidak keberatan. Sayang. George.
            Aku menangis begitu saja. Kulihat jam pada arlojiku: 10.15am. Aku ingin menangis namun hanya penyesalan yang ada untukku. Mengapa ternyata aku sendiri tidak bisa memahami perasaan George. Lelaki yang selalu terlihat santai ternyata memiliki harapan yang besar untuk aku berkata “tidak”. Sepanjang kerja aku hanya melamun. Aku merasa aku sendiri yang perlu dirawat. Aku merasa kehidupanku hancur begitu saja.
            Satu tahun berlalu. Awal Juli kembali membuaiku. Aku sudah bisa hidup tanpa bayang-bayang George. Aku kembali ke rutinitas awalku dan aku kembali kuliah untuk menambah pengetahuanku. Aku ingin menjadi wanita karier. Aku datang saat pesta pernikahan Aliesha dan kami berpesta bersama. Tidak peduli betapa aku sendiri hadir tanpa pasangan. Toh selama hidup masih bisa bersenang-senang mengapa tidak dilakukan? Aku sekarang sanggup berfikir rasional. Pengalamanku dengan George membuatku lebih selektif dan menggunakan segala kesempatan apa yang ada untuk melakukan hal maksimal. Aku merasa bahwa Juli tahun ini akan menjadi tahun hebatku. Aku tidak tahu. Aku hanya merasa. Tanpa George aku masih bisa hidup tenang. Aku tidak takut harus menjadi perawan tua. Asalkan aku masih bisa merasakan kebebasan dan kebahagiaan. Terimakasih George atas apa yang telah kamu lakukan selama ini. Aku bahagia, dan aku ikhlas.. -mth

Minggu, 28 Juli 2013

Sebuah Jalan Lain


“Satu hal yang kupelajari, walaupun sangat besar rasa sayang kita kepada seseorang tetapi seseorang yang kita harapkan sama sekali tidak membalas rasa kita itu tidak berarti apa-apa. Yang ada bukanlah perasaan sia-sia yang terbuang percuma, tetapi sebuah langkah baru yang harus kita hadapi dengan senyum.”

                Seminggu sejak kejadian itu, kejadian yang membuat aku ingin mengurung diri dikamar selamanya. Aku tidak sakit, tidak secara fisik. Hanya yang terlihat aneh selama ini hanyalah mataku yang semakin hari semakin sembab karena menangis terlalu lama. Mama dan papaku seakan bisa memahamiku dan mengerti apa yang harus mereka lakukan untukku. Teman-temanku seakan juga bisa mengerti dan ikut merasakan apa yang aku alami.
                “Jangan memaksaku untuk memilih Ta!” masih kuingat jeritan Ken seminggu lalu digerbang sekolah. Itu hari terakhir sebelum liburan akhir semester ganjil. Yah, aku dan Ken sudah saling mengenal sejak kami kelas 1 SMA. Dan sejak itu kami terus berdua. Aku memiliki perasaan kepadanya, tetapi aku tahu bahwa wanita masih dianggap tabu untuk menyatakan perasaan mereka.
                “Apa maksudmu Ken? Apakah salah aku mencintaimu? Mengapa kau melarang aku begitu saja setelah apa yang kita lewati?”  protesku sambil menahan air mata. Aku ingat benar, perasaanku hancur saat itu.
                “Cintai saja aku Ta, aku tidak akan menolak. Tapi jangan salahkan kalau kamu patah hati.”
                “A-apa maksudmu? Kau berjanji tidak akan membuat sakit perasaanku Ken. Dimana rasa pengertianmu selama ini?” air mataku mulai menetes, aku tidak peduli tatapan teman-temanku melihat aku dan Ken ribut di depan pintu gerbang sekolah.
                “Jangan menyukaiku. Jadi perasaanmu tidak akan sakit saat aku tidak membalas perasaanmu.” Ken berkata datar sambil meninggalkanku seorang diri. Aku masih menangis. Sejak saat itu kuputuskan mengurung diri dikamarku.
                Kuingat serpihan-serpihan peristiwa itu dengan tangisan terisak yang tertahan. Kugigit bibirku agar suara tangisku tidak keluar. Besok adalah hari natal, kuingat tahun lalu aku merayakan malam natal bersama Ken dan keesokan harinya dia memberiku hadiah sebuah lonceng lucu yang digantungi boneka panda. Aku ingat saat itu Ken berbisik kepadaku bahwa ia tidak akan membuat perasaanku sakit, tapi setahun setelah kejadian itu dia benar-benar mengingkari janjinya. Malam ini aku tidak bisa tidur sama sekali. Aku tidak peduli St.Claus tidak akan memberiku hadiah jika aku tidak tidur. Aku ingin menangis sepuas-puasnya.
                Natal pagi, suara adikku sudah menggema memenuhi langit-langit kamarku. Bahkan dari dalam kamar saja aku bisa mengetahui bahwa dia mendapatkan sepaket aksesoris dari orangtuaku. Aku ingin kembali tidur saat kudengar ketukan halus dari mamaku. “Ta, bangun nak. Ayo ke Gereja.”
                Sebuah kata “Gereja” mampu membangkitkan kepekaanku. Entah mengapa ratusan semangat muncul dari jiwaku. Segera kubersihkan diriku dan bersiap diruang keluarga. Disana mama dan papa sudah menunggu. Kami berangkat, saat melewati ruang tamu kulihat ada 2 kado yang masih terbungkus rapi. Mungkin satu milikku dan satu milik adikku.
                Entah, perasaan tenang aku dapati saat aku benar-benar mengutarakan keluh kesahku kepadaNya. Selesai ibadah aku memutuskan untuk berjalan-jalan ditaman Gereja. Banyak anak-anak bermain ditaman menghabiskan waktu liburan mereka, dari kejauhan aku bisa melihat seorang lelaki bersama wanita seumurannya. Aku yakin dia Ken. Aku tidak bisa melupakan setiap inci dari bentuk wajahnya. Hatiku remuk, aku tidak menyangka secepat itu Ken mendapat teman baru. Aku tidak menyangka secepat itu dia melupakanku. Tidak ada satupun ucapan selamat natal darinya. Aku tidak menyangka dia begitu egois. Aku segera mengajak kedua orangtuaku pulang. Aku terpaksa memberi salam kepada orangtua Ken karena orangtuaku sedang berbicara kepada mereka saat aku mengajak pulang. Aku sakit.
                Dirumah semakin mewah. Aku merasakan kebahagiaan yang semu. Kupandangi kado yang berada dibawah pohon natal. Kotak mungil berwarna hijau dan merah tua itu mengusik kesedihanku. Kuambil kotak yang berwarna merah tua itu, kulihat catatan dibagian atasnya “To Venta” itu bukan tulisan tangan orangtuaku. Penasaran kuambil kotak yang satunya. Masih tercatat untukku. Lalu dari siapa hadiah ini? Kubuka bingkisan hijau. Sebuah dream ball berisi St.Claus yang sedang memberi kado diatas cerobong asap. Salju turun diatasnya. Dibawah itu semua tertulis manis “To our dear Venta. Full of love mom and dad.” Aku ingin menangis, kedua orangtuaku masih menyayangiku.
Segera kubuka kotak kedua. Long dress, kali ini tak mungkin adikku yang memberikan kepadaku. Secarik kertas jatuh dari lipatan pakaian itu. “Kuharap kau memakai ini saat kujemput malam ini pukul 07pm. St.Claus J.” Sebuah hal konyol, tak mungkin St.Claus memberiku hadiah karena semalam aku tidak tidur. Aku penasaran, siapa yang memberiku hadiah ini. Rasa penasaranku masih muncul ketika tiba-tiba adikku memberi bingkisan kepadaku sambil tersenyum. Kuterima dengan senang hati bingkisan itu. Sebuah jam tangan cantik berwarna kuning. Kucium adikku dengan penuh ucapan terimakasih.
Pukul 6 sore. Aku masih penasaran siapakah yang akan menjemputku. Kupersiapkan diriku. Kugunakan dress pemberian seseorang itu. Bahkan orangtuaku tidak mau memberi tahu kepadaku siapa pengirimnya. Jam 7 tepat sebuah mobil diparkirkan didepan pintu gerbangku. Aku hafal benar itu mobil Ken. Aku tidak percaya apakah dia yang menjemputku.
Kulihat dia masuk kerumahku menggunakan setelan jas yang rapi. “Hai Ta.” Sapanya ramah. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Aku hanya bisa tersenyum dan mengangguk. Setelah Ken pamit kepada orangtuaku kami pergi keluar.
“Kau masih berani menemuiku?” kataku terang-terangan.
“Mengapa? Bukankah aku sahabatmu? Kau masih sakit hati?”
“Tapi..”
“Aku memang tidak menerimamu. Dan aku memang menganjurkan kamu untuk tidak mencintaiku. Karena aku sudah menyayangimu sebagai sahabatku. Itu cukup buatku. Dan kurasa seminggu adalah waktu yang tepat untukmu menyadari itu Ta.” Katanya singkat sambil menggandengku.
Satu hal yang kupelajari, walaupun sangat besar rasa sayang kita kepada seseorang tetapi seseorang yang kita harapkan sama sekali tidak membalas rasa kita itu tidak berarti apa-apa. Yang ada bukanlah perasaan sia-sia yang terbuang percuma, tetapi sebuah langkah baru yang harus kita hadapi dengan senyum. -mth