Visitors

Minggu, 10 November 2013

Malaikat Tuhan

                Kala itu mungkin mentari sedang lelah menyinari hari-hari, atau mungkin bulan enggan memantulkan cahayanya, bintangpun entah kemana sinar kecilnya, pelangi hanya satu warna. Malaikat itu terbang sendiri membawa salah satu sepatunya yang basah oleh air hujan yang sedari tadi mengguyur disertai petir. Yah hari yang membosankan dan mengerikan.
                Apa yang bisa kamu lakukan? Sebagai manusia yang dengan mudahnya mencintai, sebagai lelaki yang dengan mudahnya mengumbar janji, atau sebagai wanita yang tak henti-hentinya merayu. Bisa apa kau memperbaiki dunia ini. Malaikat itu mulai menangis ditepi danau buatan masyarakat desa. Sepatunya entah kemana lagi. Oh malaikat, sayapnya sudah tidak lagi utuh. Bulu putihnya ternodai oleh cipratan jalanan tanah yang dilindas ban mobil, sayap satunya robek terkena ranting pohon yang belum lama ini terbakar akibat tersambar petir.
                Aku mengenal air mata itu, air mata yang sering keluar terdesak perihnya himpitan luka. Menetes perlahan tak ubahnya gerimis pagi hari, tertutup lebatnya kabut. Wajah itu tak terlihat lagi. Tapi bisa kulihat tangan malaikat itu gemetaran dan penuh darah. Satu tatto ditangannya dengan simbol kupu-kupu tampak lusuh, tidak cocok lagi dengan kulitnya yang semakin pucat. Malaikat itu masih saja menangis tersedu-sedu.
                Aku ingin bertanya mengapa dia ada disini? Didunia yang kian tak jelas keadaannya. Tapi aku takut, tatapannya saat menangis seakan memiliki amarah yang bisa keluar kapan saja. Tapi rasa penasaranku lebih berani daripada rasa takutku kepada pemilik mata biru emerald itu.
                Kujulurkan tanganku, memberikan sapu tangan kuning yang lebih lusuh dari baju gembalaku. Malaikat itu menoleh tanpa ekspresi, tangannya yang gemetaran meraih sapu tanganku. Aku yakin malaikat itu tidak bisa berbicara. Astaga Tuhan, dia seorang malaikat! Tetapi mengapa banyak sekali kekurangan didalam dirinya? Dia bahkan sudah tidak enak lagi dilihat!
                “Kau didunia? Apa tempat malaikat memang didunia?” kataku perlahan. Walaupun aku tahu malaikat itu tidak bisa berbicara tetapi aku masih berharap malaikat itu akan menjawab pertanyaanku walaupun dengan anggukan ataupun gelengan.
                Semenit, dua menit berlalu. Malaikat itu tidak melakukan apa-apa. Akhirnya dia memandangku dengan mata besarnya yang layu. Tangan kurus dan pucatnya bergerak pelan menelusuri tanah coklat yang basah akibat hujan. Aku tak tahu apa yang dilakukannya. Aku berharap malaikat itu menjelaskan sesuatu kepadaku. Yang kutau dengan pikiran terkuatku malaikat itu mulai membuat garis-garis gambaran dengan kuku kotornya. Aku berusaha memahami sepenuhnya.
                Sekitar tujuh tahun yang lalu, Tuhan mengutus malaikat itu untuk menjadi malaikat penjaga dengan menjaga seorang anak laki-laki yang lucu..
                Aku semakin bingung dengan arah perkataannya. Benar-benar tidak sesuai dengan pertanyaan pertama yang kuajukan. Sebentar.. aku hanya mengajukan satu pertanyaan kepada malaikat itu. Kupegang bahu malaikat yang masih terisak itu, perlahan hawa dingin dan panas mulai merambatiku. Aku mulai terbawa dengan dunia yang malaikat itu maksud. Aku seakan dihembus sang waktu kedalam kejadian itu.
                Lelaki manis itu seperti laki-laki pada umumnya. Dia senang bermain bola dan bukan boneka barbie. Tiap pagi ibunya selalu menemaninya berangkat sekolah. Lelaki kecil itu dapat melihat malaikat penjaganya. Setiap hari malaikat itu selalu setia menemaninya kemanapun lelaki itu pergi, apapun keadaan lelaki itu.
                Aku benar-benar tidak mengerti maksud malaikat ini. kalau dia memang ingin bercerita dan tidak menjawab pertanyaanku biar saja. Aku mulai merasa kesal..
                Seiring berjalannya waktu lelaki itu tumbuh besar. Wajahnya yang putih, rahangnya yang kotak dan hidungnya yang mancung memperindah dirinya. Malaikat itu masih sering menemaninya, malaikat itu wajahnya sama saja. Tidak berubah, tidak tambah tua. Tapi mengapa dia bisa tampak layu seperti itu? Seperti bunga mawar yang semakin menghitam.
                Prak! Aku terkejut. Didalam dunia malaikat itu, aku melihat lelaki itu berusaha melempari sang malaikat dengan berbagai benda. Lelaki itu terlihat marah. “Apa yang kamu lakukan?! Aku sudah tidak membutuhkanmu! Pergilah kau! Gara-gara kamu diriku sekarang hancur!”
                Apa maksud semua ini?! Bukannya malaikat itu adalah malaikat penjaga? Tetapi mengapa lelaki itu mengatakan bahwa malaikat itu telah menghancurkan hidupnya? Belum sempat rasa penasaranku terjawab malaikat itu mendekati lelaki yang dijaganya. Dia berusaha mengatakan sesuatu, tapi dia masih tidak bisa berbicara. Tubuhnya terlihat semakin rapuh. Akhirnya, dengan kekuatan terakhirnya yang kuketahui dari kalungnya yang semakin pudar dia menunjuk sebuah bola kaca yang terletak diatas meja belajar lelaki itu. Dan dengan satu sinar malaikat itu menghilang.
                Aku masih saja terperangkap didalam kamar lelaki itu. Tatapan amarahnya seakan sudah separo terbawa derasnya arus sungai. Dihampirinya bola kaca itu, entah kenapa bola itu tiba-tiba bersinar. Dan aku mendengar suara yang membuat lelaki itu terpana.
                “Aku tahu sudah lama aku menjagamu, aku juga tahu sudah berapa lama aku mengenal dirimu. Tapi yang aku pasti tahu, sejauh ini kamu benar-benar tidak mengenalku. Maafkan aku jika aku merusak kehidupanmu. Maaf aku sudah tidak bisa menjagamu, karena Tuhan tahu aku teah menyalahgunakan kehendakNya. Selama ini aku melindungimu dengan sepenuh kasih sayangku, tetapi kini kusadari aku sendiri tidak punya semangat tanpamu. Karena akhirnya aku tahu bahwa aku mencintaimu. Tapi aku tahu malaikat hanya bertugas untuk menjaga, tidak bisa mencintai bahkan dicintai. Maaf”
                Aku diombang-ambingkan dalam lautan longitudinal yang entah tak berujung. Akal sehatku belum bisa menerima kenyataan tadi dan aku tidak tahu aku harus bagaimana. Bagaikan tersentak aku tersadar, aku melihat mata malaikat itu mulai keruh dan sesaat dia terisak.
                Aku tak tahu harus bagaimana. Aku berdiri dan berjalan menjauhi malaikat yang semakin sedih itu. Malaikat itu telah dibuang oleh Tuhan kedunia karena melalaikan tugasnya. Aku kini tahu, sebagai manusia kita dengan mudahnya bisa mencintai dan dicintai. Kubiarkan sapu tanganku dengan malaikat itu. Biarlah dia sendiri. Aku tahu malaikat hanya bertugas untu menjaga, bukan mencintai apalagi dicintai. -mth

Tidak ada komentar:

Posting Komentar