Visitors

Jumat, 22 Desember 2017

Gadis Manis dan Kenangannya

Kepada kamu yang kini semakin jauh. Aku tidak pernah menyangka akan sejauh ini jarak antara aku dan kamu.
Dulu,
Sewaktu aku masih bisa menikmati setiap lekuk tubuhmu, selagi masih kuhafal aromamu, semasa sering kulukis senyummu dalam anganku, aku begitu menikmati sang waktu.
Aku sering memprotes pada si empunya jarum jam, mengapa jalannya sangatlah cepat?
Sedangkan aku disini begitu ingin menikmati waktu bersamamu.
Detak jam dinding mulai berpacu seiring doa yang kupanjatkan agar Dia menghentikan takdir yang semakin nyata didepan mata.
Semua temporari.
Bahkan dulu yang hadirmu begitu nyata kini mulai sirna dan tertinggal bagai bayangan maya.
Sayang,
Aku mulai menengguk kopiku setiap pagi seorang diri. Berjalan keluar toko kedai kopi yang biasa kita singgahi dan menatap nanar pengemis tua yang balas menatapku tak kalah nanarnya ketika disadarinya sudah tidak ada dirimu menggandeng tanganku. Kopiku kini kubiarkan mulai mendingin 20 menit lebih terlambat dari pagi sebelumnya. Menanti kata manismu yang memarahiku segera kuhabiskan sesapan terakhir yang kini tak terdengar lagi meskipun iringan suara radio yang mengalun sendu masih berjudulkan lagu yang sama. Bajuku mulai kotor dengan percikan kopi yang tercipta dari piringan cangkir yang kuketuk pilu dengan kuku jemariku. Ah tak apa, lagipula sudah tidak ada dirimu yang akan memberikanku mantel saat bajuku mulai tak layak untuk dipamerkan.
Aku terlambat.
Lagi.
Ini sudah kedelapan kalinya aku datang melebihi waktu yang seharusnya. Bukankah biasanya kamu akan mengantarkan aku? Namun ketidakhadiranmu yang kedelapan belum juga membuatku terbiasa akan hilangnya dirimu.
Sayang,
Dulu kopiku terasa manis. Dulu waktuku terasa cepat. Dulu jalan yang aku lewati terasa begitu singkat saat kulangkahkan kakiku beriringan denganmu.
Daun yang gugur masih saja sama. Kamu pun juga. Masih mempesona.
Kini dalam jalanku seorang diri aku merasa ketakutan. Kehilangan dirimu adalah hal yang sudah kupersiapkan sejak awal pertemuan kita, bahkan dari sebelum aku mengenal dirimu. Aku merubah segala kebiasaanku yang sudah menjadi rutinitas bersamamu menjadi hanya aku. Aku ketakutan menghadapi kenyataan bahwa aku benar-benar kehilangan dirimu.
Jalanku telah selesai, aku telah sampai.
“Tok..tok..”
Tidak ada jawaban. Rumah itu masih saja sepi seperti tak berpenghuni. Padahal masih jelas dalam ingatanku, sembilan hari yang lalu kulihat dua sejoli sedang berpelukan di teras rumah sambil tertawa dan meminum coklat panas mereka. Masih terasa jelas didalam pandanganku bahwa sepasang kekasih itu saling membalas senyum satu sama lain dan mengecup kening pasangannya sebelum mereka terlelap dalam dekapan seakan tidak ingin dilepaskannya masing-masing dari pelukannya. Ah mungkin mereka akan pulang sore ini.
Aku memutar kembali arah tujuanku. Kembali melewati jalan yang biasa kita lalui bersama. Membayangkan ada jejak kakimu mendampingi jejak kakiku yang tinggal sepasang dalam langkah kecil-kecil. Terlihat mengenaskan.
Aku melewati kedai kopi kecil diujung jalan rumah milik sepasang kekasih itu. Kuputar lagi memori ingatanku. Kuingat sepasang kekasih itu selalu duduk di meja paling pojok setiap pagi.
“Kling..” bel pintu kedai kopi berbunyi saat kubuka. Pemilik kedai menatapku aneh dan memandangku seolah sering bertemu denganku. Aku tidak tahu apa arti tatapannya yang penuh tanya. Sial. Sepasang kekasih itu tidak duduk berdua di pojok kedai kopi seperti pagi-pagi yang lalu. Aku duduk termenung di kursi dimana sang wanita kerap duduk disana sambil mengacak-acak rambut pasangannya dan memainkan alisnya sambil tersenyum manyun. Bagaimana bisa seakan kurasakan jiwa pasangan kekasih itu?
Aku berjalan keluar dari kedai kopi begitu tak kudapati sepasang kekasih yang kucari di meja pojok tempat favorit mereka. Sedikit terseok langkah kakiku saat kutemui pengemis tua yang menatapku nanar sambil tersenyum. Kubalas senyumnya.
“Ini untukmu gadis manis.” Katanya parau hampir tak bersuara.
Aku menyambut kertas kumal dan membukanya.
Hai gadis manis,
Sudah berulang kali aku melihatmu keluar dari pintu kedai kopi pagi ini.
Apa yang sedang kau cari?
Aku melihatmu kembali menyusuri jalan yang sudah sering kamu lewati sejak dulu, sambil memandang hampa di samping kananmu seolah ada sesosok yang dulu selalu mengiringmu kemanapun kamu pergi.
Dia kah yang kamu cari?
Kamu masih mengeluarkan kunci dari saku celanamu. Kunci rumahkan itu? Aku ingat dengan benar gantungan kunci bunga mawar merah yang sejak dulu selalu kamu jaga bersama seseorang. Sekali dulu kudengar itu adalah kunci masuk ke ranah bahagiamu dengan orang yang dulu selalu menggandeng tanganmu menyusuri jalan itu. Rumah itukah yang kamu tuju?
Gadis manis,
Jangan katakan kepadaku kamu masih mengunjunginya.
Sudah kesekian kali hari ini aku melihatmu duduk sendirian di bangku favoritmu. Memasang wajah sendu dan frustasi sambil mengetuk cangkir kopi dengan kasar sehingga isinya terciprat dalam bajumu yang indah hingga tidak layak untuk dipamerkan lagi. Kamu duduk sendiri tanpa seseorang yang dulu selalu duduk di seberangmu.
Dia kah yang kamu cari?
Aku melihatmu berlari kecil sambil mengatakan kamu terlambat. Kamu masih saja menangis.
Apa yang kamu salahkan soal waktu? Dia tidak bersalah. Waktu selalu tepat. Hanya saja dia yang memang sudah pergi.
Pergilah dari sini. Terima saja kenyataan bahwa kamu harus berjuang sendirian.
Gadis manisku.
Aku mulai tersedak membaca isi surat dan perlahan aku mulai menyadari, bahwa sepasang kekasih yang kucari kini adalah aku dan kamu yang dulu. Aku dan kamu yang pada waktu itu menjadi kita. Kita yang dulu hingga sekarang masih aku anggap ada. Aku terjebak dalam zona waktu dimana aku dan kamu selalu bersama, sampai aku tidak menyadari bahwa semua telah berubah. Telah selesai.
Kususuri jalanan ini sekali lagi. Sepasang kekasih itu kini telah pergi selama-lamanya. Kuselipkan suratku dibawah pintu rumah yang entah akan terbuka lagi atau tidak. Kuletakkan kunci dengan gantungan mawar merah dan aku pergi.
Melewati jalan lain.

-mth

Kamis, 14 Desember 2017

Akhirnya Kamu Memilih Pergi

Mari sayang kuceritakan lagi kisah tentangmu, yang tidak akan pernah mati di dalam tulisanku.

Kemarin kamu memutuskan untuk memilih pergi, menyerah dengan keadaan yang tidak bisa kamu dan aku tangani. Menolak untuk mempertahankan satu pilihan dan membiarkan diri terombang-ambing pada pilihan yang seharusnya mampu kamu pilih. Aku tak apa, kukira. Aku kuat didepanmu karena aku menghargai keputusan yang kamu buat untuk dirimu sendiri.
Sayang, kita sama-sama telah dewasa. Kita mampu menentukan jalan yang kita pilih walaupun pada akhirnya kita pun tahu bahwa bersama bukanlah jalan yang kita pilih. Aku menyayangkan keputusanmu untuk tetap bertahan pada ketidakpastian antara aku dan dia.
Jika aku adalah badai, biarlah aku mereda sendiri. Aku nyaman melihatmu berlayar di samudra luas yang tenang dan bahagia disana. Aku tidak ingin merusakmu dengan badai diriku sendiri, mengombang-ambingkan emosimu dengan emosiku yang tidak dapat kukontrol.
Akhirnya kamu memilih pergi.
Sulit bagiku untuk meyakinkan diriku bahwa ini benar-benar sudah berakhir. Tidak seperti yang lalu bahwa hanya butuh beberapa hari sehingga aku bisa kembali menikmati senyummu. Sayang, ini sudah berakhir. Tidak ada lagi kesempatan untuk kita berdua. Aku belum bisa menerimanya.
Aku merindukanmu.
Secepat ini.
Dan
Sesakit ini.
Aku bukanlah orang yang tahan dengan rasanya sakit hati. Aku bahkan takut untuk menghadapi waktuku tanpa kamu yang dulu selalu saja memberiku semangat disaat aku sedang peluh. Tapi benar, aku tidak berhak merubah keputusan yang kamu buat demi kita dan dia. Aku, kamu, dan wanita itu.
Kamu bilang tidak ingin melihatku menangis.
Sayang, aku tidak akan menangis. Setidaknya didepanmu.
Biarlah apa yang tertumpah dibelakangmu menjadi rahasiaku seorang diri. Biarlah aku menikmati kesedihan yang kubuat atas ekspektasiku sendiri.
Sering kukatakan kepadamu, aku tidak berani sendiri.
Tapi sayang,
Aku berani menghadapi kesedihan ini seorang diri. Aku lebih memilih menangis dalam diam daripada harus melihatmu merasa bersalah jika melukaiku. Aku terluka. Setidaknya ini pernah kurasakan dulu. Dan jika hati ini telah robek, aku dulu pernah belajar bagaimana cara menjahitnya kembali. Walaupun aku tahu waktu tidaklah cepat.
Sayang, sering kudengar kamu mengatakan mengapa waktu berjalan sangatlah cepat.
Pernahkah kau merasakan waktu yang dirasakan orang yang sedang patah hati? Bahkan satu menit pun terasa sesak untuk dijalani.
Aku merindukanmu.
Aku merindu pelukmu yang menenangkanku, aku merindu suaramu yang mampu menghela nafasku semakin dalam. Aku merindukan hadirmu disisiku.
Sadarkan aku.
Ini sudah berakhir katamu.
Bahkan usahaku untuk membuatmu kembali tidak akan berhasil.
Jika kamu membaca ini, ajaklah aku berdua denganmu. Biar kuceritakan dengan detail bagaimana perasaanku. Ajaklah aku. Akan kusanggupi.
Sebelum kita benar-benar menjadi dua mahluk asing yang tidak pernah saling mengenal dan bertingkah seolah tidak memiliki masa lalu bersama. Sebelum waktu nanti akhirnya menghapus kita dari catatan dua orang yang pernah memadu kisah. Sebelum akhirnya nanti aku merelakanmu dan menerima keputusanmu dengan baik. Sebelum aku dan kamu benar-benar selesai.
Ajaklah aku. Sekali saja.

-mth

Minggu, 10 Desember 2017

Surat untuk Bintang

Hai Bintang,
Mungkin ini sedikit basi jika masih saja kutuliskan sepucuk surat untuk kau baca disela kesibukanmu yang semakin menjadi-jadi. Tapi sempatkanlah membaca suratku ini meskipun pada akhirnya hanya kau jadikan tatakan kopi pagimu.
Tak apa.
Perkenalkan aku, penulis surat ini.
Aku adalah seseorang yang sudah lama mengagumi keberadaanmu dan hingga kini aku masih saja mengagumimu. Aku adalah orang yang tak pernah berhenti mengucap syukur pada Tuhan karena telah diciptakanNya manusia se-spesial dirimu dalam dunia ini. Aku adalah orang yang paling menyukai warna hidupmu dan berharap kelak aku mampu menambah warna dalam gradasi petualanganmu.
Aku adalah aku yang duduk menulis surat ini sambil membayangkan parasmu yang elok dengan sedikit kerutan pada dahimu. Aku adalah yang tidak pernah engkau sadari sebagai penulis cerita ini karena pada kenyataannya aku hanya mengenalmu sebagai sosok hebat yang mampu meluluh lantahkan hatiku dalam sekejap.
“Apa lagi yang kuingin kau tahu tentang aku?”
Aku adalah orang yang rela mengarungi malam seorang diri hanya demi melihat sinarmu yang makin hari semakin mempesona, bermimpi ditengah teriknya siang dan berdoa agar malam segera tiba untuk aku dapat melihatmu.
Dan malam ini, aku menulis surat ini sembari melihatmu.
Bintang.
Bintang, kamu adalah sosok hebat yang selalu kubanggakan dalam doaku dengan Tuhan. Kamu adalah salah satu alasanku betah merengek-rengek pada Tuhan agar bisa kujumpai dirimu dalam hidupku. Kamu adalah mimpiku yang selalu ingin kutemui dan tidak ingin kutinggalkan.
Kamu berarti.
Setiap lekuk garis wajahmu sempurna seperti pesanku pada Tuhan.
“Aku ragu Bintang, apakah kamu nyata?”
Kamu yang selalu tersenyum kepada siapa saja seolah bangga memamerkan deretan gigimu dan bibir mungilmu. Kamu yang selalu menyipitkan matamu dan membuat kedua alis indahmu bertaut menjadi satu. Kamu yang selalu melambaikan tanganmu dan merangkul teman-teman disekelilingmu dengan guyonan receh sekedar untuk menggelak tawa mereka.
Bintang, kamu yang membawa banyak kebahagiaan.
Kini Bintang,
Aku ingin menceritakan kisah sedihku padamu. Aku harap kamu mengerti dan memahami alasanku menulis surat ini.
Bintang, jangan lupa jika kamu adalah orang yang selalu mahir menempatkan posisi pada orang-orang yang membutuhkan nasehatmu. Sekarang aku membutuhkan itu. Aku membutuhkanmu memberikanku nasehat mengenai kamu.

Dear Bintang,
“Bintang aku mengagumimu.”
“Aku memimpikanmu.”
“Aku tidak ingin kehilangan kamu.”
“Aku ingin tetap berada disampingmu.”
“Aku m-e-n-c-i-n-t-a-i-m-u.”

Bintang, jangan pernah kamu bertanya kepadaku apa alasanku mengucapkan kata demikian. Aku tidak tahu jawabannya.
Tolong bantu aku.
Aku sudah berusaha menganggap kata-kata itu hanyalah kiasan untuk menggambarkan betapa mudahnya kamu kuterima dalam hidupku hingga akhirnya menjadi candu.
Bintang sudah kubilang jangan, tapi “mengapa” selalu menjadi kata favoritmu.
Bintang, jangan pernah sekali lagi kamu bertanya padaku mengenai alasan. Aku tidak punya alasan.
Tidak punya jika hanya satu alasan.
Bintang,
“Aku mengagumimu.”
Cukup aku mengagumimu. Bahkan tanpa akupun kamu memang bisa menjadi pribadi yang akan dikagumi banyak orang. Kamu istimewa Bintang. Kamu bahkan bisa dengan mudahnya memberikan pesonamu dan membuat banyak orang sadar akan keberadaanmu yang mengagumkan. Aku salah satu korbannya. Aku kagum dengan cara berfikirmu, aku kagum dengan caramu mengambil keputusan, aku kagum dengan sikap santaimu, aku kagum dengan sikap optimismu dan pikiran positifmu. Aku mengagumimu.
“Aku memimpikanmu.”
Sudah kubilang Bintang, inilah bagian terindahku malam-malam saat kulihat dirimu dibalik kelopak mataku yang terlelap. Kamu begitu bersinar ditengah gelapnya lautan sorot mata gelapku. Tapi Bintang, akhir-akhir ini aku benci memimpikanmu. Tidak ada lagi aku didalam mimpiku. Kenapa kamu menyertakan sosok lain dan begitu saja masuk dalam dunia mimpiku? Bintang, ini mimpiku. Aku seperti terombang-ambing dalam dunia yang tidak kumengerti, aku menjerit menangis dalam mimpiku dan bangun dengan mata basah setiap pagi. Bintang, aku rindu memimpikanmu seperti dulu.
“Aku tidak ingin kehilangan kamu.”
Aku rasa aku tidak pantas mengucapkan hal ini karena pada kenyataannya aku tidak memilikimu utuh. Tapi Bintang, kamu milikku. Aku yang menikmati sinarmu, aku yang melukis lekuk tubuhmu, aku yang memilikimu. Katakan saja aku menempatkanmu dalam angkasaku sendiri, membiarkanmu bermain-main dalam ruang imajinasiku. Mempersilakanmu mengkontrol semua isi pikiran dan mauku. Entah kamu milikku, atau justru aku milikmu. Aku tidak mau tahu. Aku hanya tidak ingin melihatmu pergi dan tersungkur seorang diri saat kehilangan kamu.
Bintang jangan pergi.
Aku masih ingin menikmati indahmu dalam hidupku. Aku benar-benar tidak ingin kehilangan kamu.
Bintang.
“Aku ingin tetap berada disampingmu.”
Aku ingin mengusap peluh sedih dan bahagiamu. Aku ingin terus melihatmu tertawa dan beradu canda denganku. Aku tidak ingin berhenti mendengar gelak tawamu yang menggelitik telingaku tiap aku mendengarnya. Aku ingin kamu tetap berada disampingku. Atau aku yang selalu ada disampingmu dimanapun kamu berada. Bintang, simpanlah aku. Sembunyikan aku namun rawatlah aku.
Aku tahu kelak tanpa aku ataupun kau sadari, saat kita belum siap dunia memaksa untuk berubah. Mau tidak mau aku dan kamu harus siap menerima keadaan. Bintang, aku dan kamu tidak bisa bersatu selamanya. Tapi aku hanya ingin tetap berada disampingmu. Kelak jangan memaksa keadaan jika pada akhirnya kita tidak bisa beriringan. Selagi sempat Bintang, aku ingin tetap berada disampingmu.
“Aku m-e-n-c-i-n-t-a-i-m-u.”
Cukup sampai disini Bintang. Aku tidak memiliki alasan untuk kata-kata ini. Bahkan aku tidak mengerti mengapa bisa kurasakan hal ini. Tapi aku senang mampu mencintaimu. Bukankah banyak orang melakukan hal yang sama padamu. Mencintaimu.
Aku tidak ingin membahas bagian terakhir. Pada nyatanya aku sendiri tidak mengerti arti dari kata-kata itu Bintang. Mungkin itu hanyalah kata yang paling tepat untuk saat ini menggambarkan seluruh isi diriku.
Bintang, suratku masih panjang. Tapi aku tahu kamu lelah dan kopimu mulai dingin. Bintang tetaplah kamu menjadi Bintangku yang selalu bersinar dan memancarkan siapa dirimu. Tetaplah jadi dirimu yang mampu membuatku terseok-seok mengejarmu dan mendambamu.
Sebelum kamu menutup surat ini dan melanjutkan harimu yang indah, aku ingin kamu tahu satu hal.
Bintang, hari ini aku sedang cemburu.
-mth

Kamis, 30 November 2017

BINTANG

Ada sedikit cerita tentang kamu yang suka datang dan pergi begitu saja. Kuanggap saja pesan singkatmu itu tak sampai walaupun kamu sudah mengirimnya berulang kali. Aku ingat suatu malam kau berkata kepadaku “Bukannya sudah ada aku yang selalu ada untukmu?”
Kau masih saja suka berjalan sambil bersenandung kecil ketika kugumam lirih dibalik pundakmu “Benar sudah ada kamu yang selalu datang dan menghilang dari hidupku.”
“Apa?” tanyamu sambil berbalik menatapku.
Kuputar bola mataku dan kuberikan senyumanku kepadamu. Kamu yang katanya selalu ada untukku. Kamu yang saat ini sedang ada untukku. “Kamu tahu ada berapa banyak bintang di angkasa?”
“Tak terhingga. Ada apa?”
“Aku berharap kamu salah satu dari mereka.” Aku tidak berani menatap mata tajammu saat kuucapkan keiginanku itu.
“Kenapa harus bintang? Masih banyak benda yang bersinar lainnya yang dapat menyinari hari-harimu. Matahari misalnya.”
“Kamu menganggap dirimu matahari? Baiklah.” Aku berjalan mendahuluimu.
“Ada apa?”
“Aku maunya kamu jadi bintang, bukan matahari.”
“Yaudah kalau itu maumu.” Kamu menyamai langkahku yang sedikit pelan karena lelah. “Tapi jangan salahkan aku kalau aku menghilang suatu malam.”
“Tidak ada definisi bintang seperti itu.” Aku marah. Bukan karena pendapatmu mengenai bintang yang salah, tetapi karena keputusanmu menjadi bintang yang salah.
Kamu menatapku dengan pandangan tidak mengerti. Ya, pandangan yang selalu kau berikan kepadaku ketika aku mulai menggumam hal yang tidak jelas menurutmu. “Ah, kamu memang sulit dimengerti.” Kembali kamu pakai headsetmu dan mulai memainkan ponsel bodohmu itu sambil berjalan mendahuluiku. “Ayo cepat.”
“Duluan saja, aku ingin berjalan ditemani bintang bukan kamu.” Aku diam mematung dan menunggumu menoleh untuk melihatku.
Dan tidak menoleh sama sekali.
Kamu berjalan mundur dan berdiri disampingku. “Halo, aku bintang.” Kamu mengulurkan tanganmu dan mengajakku berkenalan.
Aku tidak tahu bagaimana harus menanggapi sikapmu. Kusambut uluran tanganmu dan kugandeng kamu berjalan menghabiskan sisa jalanan yang hampir sampai di ujung. Jika hari ini kamu memperkenalkan dirimu sebagai bintang, maka saat itu juga aku ingin menggenggammu tanganmu dengan erat karena jika kamu benar-benar menjadi bintang kamu tidak akan seenaknya datang dan pergi begitu saja. “Hai bintang..”
Kamu mulai bersenandung kecil dan membiarkan tanganmu digandeng olehku. Aku dan kamu mulai berjalan dalam diam dengan sesekali percikan sandalmu membahasi mata kakiku.
“Ayo kita berjalan seperti ini.” Kataku.
“Aku capek.”
“Kamu kan bintang. Kamu tidak mungkin capek. Aku yang justru capek.”
“Nanti aku gendong.”
Aku tertawa. “Bintang, kamu tidak perlu menggendongku. Kamu hanya perlu menemaniku dan jangan pergi.”
“Siap!”
“Minggu depan kamu kemana?”
“Kenapa memangnya?”
“Tidak, hanya bertanya.”
Kita berpisah malam itu dan kamu benar-benar menjadi bintang. “Kamu mau kemana malam ini?” Tanyamu di telepon.
“Tidur.”
“Jangan, ayo ikut aku.” Rayumu.
“Kemana?”
“Ke angkasa. Aku menjadi bintang jaga malam ini.”
“Apa yang harus kamu jaga?”
“Kamu.” Sahutmu singkat.
Aku terdiam lama di telepon. Menunggu responmu selanjutnya. “Aku capek kalau harus memandangmu dari atas sini, jadi kuajak kamu saja.” Lanjutmu.
“Jadi kamu capek menjagaku?” tantangku. Aku mulai marah, entah mengapa aku menjadi sering emosi akhir-akhir ini. Aku lebih memilih untuk mendiamkanmu tetapi selalu saja senyum manismu membuatku lupa.
“Tidak bukan begitu. Aku hanya ingin dekat saja denganmu.”
“Minggu depan kamu kemana?” tanyaku sekali lagi.
“Kenapa memangnya?”
“Tidak, hanya bertanya.”
“Pergi mungkin.”
“Hahaha.. kamu tidak bisa menjadi bintang.” Balasku singkat.
“Mengapa?”
“Sudah kukatakan kepadamu. Bintang itu selalu ada, dia tidak datang dan pergi sesuka hati. Jika kamu memang sanggup menjadi bintang, tetaplah menjadi bintang. Aku hanya ingin kamu selalu ada dan tidak pergi tiba-tiba. Malam ini kamu bisa menjadi bintangku dan menemaniku sepanjang malam, tapi bukan berarti saat siang nanti kamu menghilang begitu saja. Kamu harus selalu ada untuk mendukung aku. Karena kamu bintangku. Tapi tidak apa-apa, sudah kukatakan kamu tidak bisa menjadi bintang. Jadilah kamu sebagai dirimu. Aku sudah senang.”
“Tapi memang bintang selalu ada untuk malam dan bukan siang. Dan kamu itu malam.” Sahutmu.
“Aku tidak mengerti.”
“Aku tetaplah bintang menurut versiku dan juga sebagai matahari untuk siang. Selamat malam, malamku.”
“Selamat malam.” Telepon ditutup.

-mth

Senin, 02 Oktober 2017

Alasanmu tentang Kita



“Bagaimana aku menceritakan kisah kita?” tanyamu sore itu sambil menyuap baso kuahmu.
Kuamati kamu bergumam seperti biasa, tak terdengar namun terbaca ekspresinya. “Bukan begitu?” tanyamu lagi sambil menatapku yang sedari tadi lupa bahwa aku juga sedang makan. Kujawab dengan anggukan kecil sambil menyuap makananku. Sebenarnya aku tidak mengerti apa yang kau bicarakan, tetapi aku senang melihatmu puas dengan jawabanku.
“Kapan lagi kita akan main teka-teki?” kususul pertanyaan ini saat kau mulai meneguk es tehmu. Kamu tidak menjawab karena kepanasan. “Ah sini kuberi kau AC.” Lanjutku sambil meniupimu yang kepanasan. “Mukamu memerah, mirip teh panas. Hehehe.” Teka-teki sudah terjawab.
Kamu suka berjalan sendiri sambil menggunakan headset ditelingamu sambil menutup mata. Katamu biar aku mau pulang denganmu dan menuntunmu pulang. Kamu banyak alasan. Katamu kalau hidup tidak disertai dengan alasan, maka kamu lebih memilih mati. Tapi kamu tidak bisa mati karena katamu sewaktu akan masuk surga kamu ditanya alasan dan kamu ngotot bahwa tidak punya alasan. Maka kamu kembali kedunia. “Masih tidak ingin punya alasan?” tanyaku.
“Ada alasanku.”
“Apa?”
“Mencintai kamu.”
Ah kamu tidak perlu membuang waktumu hanya untuk mencintai aku. Tapi aku senang kamu mencintai aku. Kamu tidak jelas. Kemarin kamu bilang sayang dengan bunda mu, sekarang kamu bilang sayang ke aku.
“Kalau aku sayang dengan bunda karena dia yang menguatkan aku. Tapi aku sayang sama kamu karena kamu menjadi alasan untuk aku kuat.” Kamu mulai memamerkan ototmu sambil sedikit bersenandung. “Boleh tidak?”
Kutatap matamu. Aku tidak yakin kamu serius. Bahkan sejauh aku mengenalmu kamu tidak pernah benar-benar serius kecuali saat kamu menghitung berapa nyamuk yang berhasil kamu bunuh dirumahmu kemarin sore. “Kamu tidak boleh serius.”
“Aku hanya ingin bertanya alasanmu.” Kamu mulai serius. Ah aku tidak pernah sanggup menanggapimu yang benar-benar serius membicarakan kita. Aku bisa saja muntah didepanmu karena perutku dapat tiba-tiba tercampur dan membuat mual hanya membicarakan kita.
“Aku tidak ingin kita dibicarakan. Aku sudah senang dengan kita yang sekarang.” Sahutku lirih.
Kamu hanya mengangguk dan mulai berjalan lagi. Akhirnya aku tidak perlu kabur darimu untuk menghindari pertanyaan itu. “Kemarin kamu kemana?” alihku.
“Menanam padi.” Jawabmu singkat. Aku tahu kamu akan melanjutkan. “Untuk makanku supaya bisa kuat menjagamu. Hehehe..”
“Hehehe...”
Kamu diam.
“Penjagaku tidak makan padi.” Gerutuku asal. “Tapi penjagaku suka berimajinasi.”
“Iya padinya imajinasi kok..” Ah kamu membela diri. Kamu mau jadi penjagaku tapi kamu tidak mau terikat denganku.
“Aku menjagamu dari sini saja. Biar bisa kulihat dari jauh kalau ada yang mau jahatin kamu. Kalau aku didekat kamu, nanti kalau tiba-tiba ada yang menyerang dan aku tidak selamat tidak ada lagi yang menjagamu. Aku harus selamat, makanya aku tidak mau terlalu dekat denganmu.” Kamu mulai berlari sedikit menjauh dari aku yang berjalan pelan. “Tapi jauhnya segini saja ya, aku tidak kuat harus terlalu jauh dari kamu. Mataku minus, nanti tidak bisa melihatmu dengan jelas.”
“Hahahahaha...” aku tertawa.
“Jangan ketawa.” Bentakmu serius. “Nanti aku melanggar kata-kataku untuk tidak terlalu dekat dengan kamu.”
“Kenapa?”
“Karena aku suka.”
“Tapi kamu tidak akan selalu bisa melihat senyumku. Suatu saat senyumku akan jadi milik orang lain.”
“Aku suka melihatmu ketawa. Besok juga tetap sama.”
“Kamu cemburu?”
“Tidak kalau ketawamu bisa kukantongin.”
“Kamu tidak harus mengkantongi ketawaku.” Kuimbangi langkahmu yang besar-besar. Kamu menatap lurus ke jalan. “Aku akan terus ketawa asalkan kamu yang menjadi alasanku ketawa.”
“Maaf..” mukamu murung.
Aku menyesal sudah mengatakan itu. Kamu hanya diam saja tidak melanjutkan kata-katamu. Aku mulai panik, kuremas-remas rokku sambil menatapmu penuh harap. Air mukamu sudah berubah murung. Tidak seharusnya kuutarakan keinginanku mengenai hal ini.
“Aku bukan komedian.” Lanjutmu singkat. Aku diam. Kamu masih saja tidak bisa serius.
“Tapi kamu mau?”
“Tidak tahu besok.”
Aku dan kamu terus berjalan menuju rumahku sebelum kamu sendiri pulang kerumahmu yang jalannya berlawanan arah. Sudah sore, sudah mulai lapar lagi perutku. Katamu kalau makanku banyak nanti topeng yang kamu buatkan untukku tidak akan muat lagi karena pipiku makin besar. Kamu buatkan aku topeng dari potongan fotomu yang dilubangi bagian mata dan hidungnya. Katamu itu bukti bahwa kamu itu ganteng dan sebentar lagi topengmu akan menjadi idola masyarakat. “Aku punya pertanyaan.”
Jangan lagi soal kita. Aku lebih memilih dipaksa mengerjakan tugas trigonometri daripada menjawab soal kita. “Apa?”
“Kapan buaya kita beranak?”
“Mereka bertelur.” Aku menatapmu. Ya, aku tahu aku harus masuk ke dunia imajinasimu lagi. “Kenapa memang?”
“Kemarin buaya tetanggaku beranak. Dia menjerit sambil nangis-nangis. Aku kasihan dengan tetanggaku.” Kamu menatapku dengan bibir diruncingkan. “Kamu tidak percaya.”
“Aku percaya padamu.”
“Hehe makasih.”
“Kalau kita?”
“Mungkin besok.”Jawabku sekenanya.
“Jelaskan dulu dari awal sebelum besok.”
“Kukira besok kita masih akan bersama.”
“Siapa tahu aku diculik.” Kamu pergi saat telah sampai didepan rumahku. Seperti biasa dengan segenggam jambu air yang tumbuh didepan rumahku. Kamu selalu seperti itu, tetap pada kebiasaanmu yang mulai kumaklumi dan kuhafal setiap waktunya. Kamu tidak pernah berubah, selalu saja tidak pasti. Dan aku masih saja sama, takut menanyakan kepastian itu sendiri.
“Jangan sampai diculik, kamu besok harus menjemputku. Aku tidak berani pergi sendiri.”
“Kamu tahu aku ada dimana.”
Jangan sampai hatimu yang diculik maksudku. Kamu sempat hilang dulu. Dan aku tidak tahu kemana harus mencarimu waktu itu. Aku tidak akan pernah menceritakan secara detail seperti apa keterpurukanku kala itu. Kehilangan kamu. Mungkin itu yang membuatku terbiasa dengan samar-samarmu.
Aku masih tidak bisa tidur, seperti biasa aku masih menunggu kamu yang katanya akan mengunjungiku tiap malam lewat jendela kamar naik sapu terbang. “Kalau kamu lelah tidur saja. Nanti aku datangnya di mimpimu.” Katamu lewat telepon beberapa bulan yang lalu. Tapi pada kenyataannya sampai aku tertidur kamu tidak pernah datang ke mimpiku. “Oh aku sibuk bantuin bunda masak-masak di mimpinya.” Jawabmu sewaktu kutanya perihal hal ini. “Besok kalau kemampuanku sudah naik level, aku mau loncat-loncat dari mimpi bunda dan ke mimpimu.”
“Jangan nanti kamu capek.”
“Kan itu cuma mimpi.”
“Aku maunya kamu datang pakai sapu terbang aja.” Lalu aku tertidur dan kamu bohong lagi. Kamu tidak datang.
Kalau aku ditanya teman-teman mengapa aku suka kamu. Kubilang kamu sebenarnya superhero yang lagi menyamar untuk menemukan penjahat sesungguhnya. “Sebenarnya aku sudah menyelesaikan misiku, menyelamatkan kamu dari mantanmu yang jahat.” Itu alasan pertama yang kamu ungkapkan ke aku. Kamu suka alasan kan.
“Terus mengapa kamu tidak pergi?”
“Karena aku ingin menjagamu.”
“Tapi kamu menjauh.”
“Ya karena aku dan kamu bukanlah kita.”
Alasanmu. -mth