Kepada kamu yang kini semakin jauh. Aku tidak
pernah menyangka akan sejauh ini jarak antara aku dan kamu.
Dulu,
Sewaktu aku masih bisa menikmati setiap lekuk
tubuhmu, selagi masih kuhafal aromamu, semasa sering kulukis senyummu dalam
anganku, aku begitu menikmati sang waktu.
Aku sering memprotes pada si empunya jarum jam,
mengapa jalannya sangatlah cepat?
Sedangkan aku disini begitu ingin menikmati
waktu bersamamu.
Detak jam dinding mulai berpacu seiring doa yang
kupanjatkan agar Dia menghentikan takdir yang semakin nyata didepan mata.
Semua temporari.
Bahkan dulu yang hadirmu begitu nyata kini mulai
sirna dan tertinggal bagai bayangan maya.
Sayang,
Aku mulai menengguk kopiku setiap pagi seorang
diri. Berjalan keluar toko kedai kopi yang biasa kita singgahi dan menatap
nanar pengemis tua yang balas menatapku tak kalah nanarnya ketika disadarinya
sudah tidak ada dirimu menggandeng tanganku. Kopiku kini kubiarkan mulai mendingin
20 menit lebih terlambat dari pagi sebelumnya. Menanti kata manismu yang
memarahiku segera kuhabiskan sesapan terakhir yang kini tak terdengar lagi
meskipun iringan suara radio yang mengalun sendu masih berjudulkan lagu yang
sama. Bajuku mulai kotor dengan percikan kopi yang tercipta dari piringan
cangkir yang kuketuk pilu dengan kuku jemariku. Ah tak apa, lagipula sudah
tidak ada dirimu yang akan memberikanku mantel saat bajuku mulai tak layak
untuk dipamerkan.
Aku terlambat.
Lagi.
Ini sudah kedelapan kalinya aku datang melebihi
waktu yang seharusnya. Bukankah biasanya kamu akan mengantarkan aku? Namun ketidakhadiranmu
yang kedelapan belum juga membuatku terbiasa akan hilangnya dirimu.
Sayang,
Dulu kopiku terasa manis. Dulu waktuku terasa
cepat. Dulu jalan yang aku lewati terasa begitu singkat saat kulangkahkan
kakiku beriringan denganmu.
Daun yang gugur masih saja sama. Kamu pun juga. Masih
mempesona.
Kini dalam jalanku seorang diri aku merasa
ketakutan. Kehilangan dirimu adalah hal yang sudah kupersiapkan sejak awal
pertemuan kita, bahkan dari sebelum aku mengenal dirimu. Aku merubah segala
kebiasaanku yang sudah menjadi rutinitas bersamamu menjadi hanya aku. Aku ketakutan
menghadapi kenyataan bahwa aku benar-benar kehilangan dirimu.
Jalanku telah selesai, aku telah sampai.
“Tok..tok..”
Tidak ada jawaban. Rumah itu masih saja sepi
seperti tak berpenghuni. Padahal masih jelas dalam ingatanku, sembilan hari
yang lalu kulihat dua sejoli sedang berpelukan di teras rumah sambil tertawa
dan meminum coklat panas mereka. Masih terasa jelas didalam pandanganku bahwa
sepasang kekasih itu saling membalas senyum satu sama lain dan mengecup kening
pasangannya sebelum mereka terlelap dalam dekapan seakan tidak ingin
dilepaskannya masing-masing dari pelukannya. Ah mungkin mereka akan pulang sore
ini.
Aku memutar kembali arah tujuanku. Kembali melewati
jalan yang biasa kita lalui bersama. Membayangkan ada jejak kakimu mendampingi
jejak kakiku yang tinggal sepasang dalam langkah kecil-kecil. Terlihat mengenaskan.
Aku melewati kedai kopi kecil diujung jalan
rumah milik sepasang kekasih itu. Kuputar lagi memori ingatanku. Kuingat sepasang
kekasih itu selalu duduk di meja paling pojok setiap pagi.
“Kling..” bel pintu kedai kopi berbunyi saat
kubuka. Pemilik kedai menatapku aneh dan memandangku seolah sering bertemu
denganku. Aku tidak tahu apa arti tatapannya yang penuh tanya. Sial. Sepasang kekasih
itu tidak duduk berdua di pojok kedai kopi seperti pagi-pagi yang lalu. Aku duduk
termenung di kursi dimana sang wanita kerap duduk disana sambil mengacak-acak
rambut pasangannya dan memainkan alisnya sambil tersenyum manyun. Bagaimana bisa
seakan kurasakan jiwa pasangan kekasih itu?
Aku berjalan keluar dari kedai kopi begitu tak
kudapati sepasang kekasih yang kucari di meja pojok tempat favorit mereka. Sedikit
terseok langkah kakiku saat kutemui pengemis tua yang menatapku nanar sambil
tersenyum. Kubalas senyumnya.
“Ini untukmu gadis manis.” Katanya parau hampir
tak bersuara.
Aku menyambut kertas kumal dan membukanya.
Hai gadis manis,
Sudah berulang kali
aku melihatmu keluar dari pintu kedai kopi pagi ini.
Apa yang sedang kau
cari?
Aku melihatmu kembali
menyusuri jalan yang sudah sering kamu lewati sejak dulu, sambil memandang
hampa di samping kananmu seolah ada sesosok yang dulu selalu mengiringmu
kemanapun kamu pergi.
Dia kah yang kamu
cari?
Kamu masih
mengeluarkan kunci dari saku celanamu. Kunci rumahkan itu? Aku ingat dengan
benar gantungan kunci bunga mawar merah yang sejak dulu selalu kamu jaga
bersama seseorang. Sekali dulu kudengar itu adalah kunci masuk ke ranah
bahagiamu dengan orang yang dulu selalu menggandeng tanganmu menyusuri jalan
itu. Rumah itukah yang kamu tuju?
Gadis manis,
Jangan katakan
kepadaku kamu masih mengunjunginya.
Sudah kesekian kali
hari ini aku melihatmu duduk sendirian di bangku favoritmu. Memasang wajah
sendu dan frustasi sambil mengetuk cangkir kopi dengan kasar sehingga isinya
terciprat dalam bajumu yang indah hingga tidak layak untuk dipamerkan lagi.
Kamu duduk sendiri tanpa seseorang yang dulu selalu duduk di seberangmu.
Dia kah yang kamu
cari?
Aku melihatmu berlari
kecil sambil mengatakan kamu terlambat. Kamu masih saja menangis.
Apa yang kamu salahkan
soal waktu? Dia tidak bersalah. Waktu selalu tepat. Hanya saja dia yang memang
sudah pergi.
Pergilah dari sini. Terima
saja kenyataan bahwa kamu harus berjuang sendirian.
Gadis manisku.
Aku mulai tersedak membaca isi surat dan perlahan
aku mulai menyadari, bahwa sepasang kekasih yang kucari kini adalah aku dan
kamu yang dulu. Aku dan kamu yang pada waktu itu menjadi kita. Kita yang dulu
hingga sekarang masih aku anggap ada. Aku terjebak dalam zona waktu dimana aku
dan kamu selalu bersama, sampai aku tidak menyadari bahwa semua telah berubah. Telah
selesai.
Kususuri jalanan ini sekali lagi. Sepasang kekasih
itu kini telah pergi selama-lamanya. Kuselipkan suratku dibawah pintu rumah
yang entah akan terbuka lagi atau tidak. Kuletakkan kunci dengan gantungan
mawar merah dan aku pergi.
Melewati jalan lain.
-mth
Tidak ada komentar:
Posting Komentar