Visitors

Jumat, 22 Desember 2017

Gadis Manis dan Kenangannya

Kepada kamu yang kini semakin jauh. Aku tidak pernah menyangka akan sejauh ini jarak antara aku dan kamu.
Dulu,
Sewaktu aku masih bisa menikmati setiap lekuk tubuhmu, selagi masih kuhafal aromamu, semasa sering kulukis senyummu dalam anganku, aku begitu menikmati sang waktu.
Aku sering memprotes pada si empunya jarum jam, mengapa jalannya sangatlah cepat?
Sedangkan aku disini begitu ingin menikmati waktu bersamamu.
Detak jam dinding mulai berpacu seiring doa yang kupanjatkan agar Dia menghentikan takdir yang semakin nyata didepan mata.
Semua temporari.
Bahkan dulu yang hadirmu begitu nyata kini mulai sirna dan tertinggal bagai bayangan maya.
Sayang,
Aku mulai menengguk kopiku setiap pagi seorang diri. Berjalan keluar toko kedai kopi yang biasa kita singgahi dan menatap nanar pengemis tua yang balas menatapku tak kalah nanarnya ketika disadarinya sudah tidak ada dirimu menggandeng tanganku. Kopiku kini kubiarkan mulai mendingin 20 menit lebih terlambat dari pagi sebelumnya. Menanti kata manismu yang memarahiku segera kuhabiskan sesapan terakhir yang kini tak terdengar lagi meskipun iringan suara radio yang mengalun sendu masih berjudulkan lagu yang sama. Bajuku mulai kotor dengan percikan kopi yang tercipta dari piringan cangkir yang kuketuk pilu dengan kuku jemariku. Ah tak apa, lagipula sudah tidak ada dirimu yang akan memberikanku mantel saat bajuku mulai tak layak untuk dipamerkan.
Aku terlambat.
Lagi.
Ini sudah kedelapan kalinya aku datang melebihi waktu yang seharusnya. Bukankah biasanya kamu akan mengantarkan aku? Namun ketidakhadiranmu yang kedelapan belum juga membuatku terbiasa akan hilangnya dirimu.
Sayang,
Dulu kopiku terasa manis. Dulu waktuku terasa cepat. Dulu jalan yang aku lewati terasa begitu singkat saat kulangkahkan kakiku beriringan denganmu.
Daun yang gugur masih saja sama. Kamu pun juga. Masih mempesona.
Kini dalam jalanku seorang diri aku merasa ketakutan. Kehilangan dirimu adalah hal yang sudah kupersiapkan sejak awal pertemuan kita, bahkan dari sebelum aku mengenal dirimu. Aku merubah segala kebiasaanku yang sudah menjadi rutinitas bersamamu menjadi hanya aku. Aku ketakutan menghadapi kenyataan bahwa aku benar-benar kehilangan dirimu.
Jalanku telah selesai, aku telah sampai.
“Tok..tok..”
Tidak ada jawaban. Rumah itu masih saja sepi seperti tak berpenghuni. Padahal masih jelas dalam ingatanku, sembilan hari yang lalu kulihat dua sejoli sedang berpelukan di teras rumah sambil tertawa dan meminum coklat panas mereka. Masih terasa jelas didalam pandanganku bahwa sepasang kekasih itu saling membalas senyum satu sama lain dan mengecup kening pasangannya sebelum mereka terlelap dalam dekapan seakan tidak ingin dilepaskannya masing-masing dari pelukannya. Ah mungkin mereka akan pulang sore ini.
Aku memutar kembali arah tujuanku. Kembali melewati jalan yang biasa kita lalui bersama. Membayangkan ada jejak kakimu mendampingi jejak kakiku yang tinggal sepasang dalam langkah kecil-kecil. Terlihat mengenaskan.
Aku melewati kedai kopi kecil diujung jalan rumah milik sepasang kekasih itu. Kuputar lagi memori ingatanku. Kuingat sepasang kekasih itu selalu duduk di meja paling pojok setiap pagi.
“Kling..” bel pintu kedai kopi berbunyi saat kubuka. Pemilik kedai menatapku aneh dan memandangku seolah sering bertemu denganku. Aku tidak tahu apa arti tatapannya yang penuh tanya. Sial. Sepasang kekasih itu tidak duduk berdua di pojok kedai kopi seperti pagi-pagi yang lalu. Aku duduk termenung di kursi dimana sang wanita kerap duduk disana sambil mengacak-acak rambut pasangannya dan memainkan alisnya sambil tersenyum manyun. Bagaimana bisa seakan kurasakan jiwa pasangan kekasih itu?
Aku berjalan keluar dari kedai kopi begitu tak kudapati sepasang kekasih yang kucari di meja pojok tempat favorit mereka. Sedikit terseok langkah kakiku saat kutemui pengemis tua yang menatapku nanar sambil tersenyum. Kubalas senyumnya.
“Ini untukmu gadis manis.” Katanya parau hampir tak bersuara.
Aku menyambut kertas kumal dan membukanya.
Hai gadis manis,
Sudah berulang kali aku melihatmu keluar dari pintu kedai kopi pagi ini.
Apa yang sedang kau cari?
Aku melihatmu kembali menyusuri jalan yang sudah sering kamu lewati sejak dulu, sambil memandang hampa di samping kananmu seolah ada sesosok yang dulu selalu mengiringmu kemanapun kamu pergi.
Dia kah yang kamu cari?
Kamu masih mengeluarkan kunci dari saku celanamu. Kunci rumahkan itu? Aku ingat dengan benar gantungan kunci bunga mawar merah yang sejak dulu selalu kamu jaga bersama seseorang. Sekali dulu kudengar itu adalah kunci masuk ke ranah bahagiamu dengan orang yang dulu selalu menggandeng tanganmu menyusuri jalan itu. Rumah itukah yang kamu tuju?
Gadis manis,
Jangan katakan kepadaku kamu masih mengunjunginya.
Sudah kesekian kali hari ini aku melihatmu duduk sendirian di bangku favoritmu. Memasang wajah sendu dan frustasi sambil mengetuk cangkir kopi dengan kasar sehingga isinya terciprat dalam bajumu yang indah hingga tidak layak untuk dipamerkan lagi. Kamu duduk sendiri tanpa seseorang yang dulu selalu duduk di seberangmu.
Dia kah yang kamu cari?
Aku melihatmu berlari kecil sambil mengatakan kamu terlambat. Kamu masih saja menangis.
Apa yang kamu salahkan soal waktu? Dia tidak bersalah. Waktu selalu tepat. Hanya saja dia yang memang sudah pergi.
Pergilah dari sini. Terima saja kenyataan bahwa kamu harus berjuang sendirian.
Gadis manisku.
Aku mulai tersedak membaca isi surat dan perlahan aku mulai menyadari, bahwa sepasang kekasih yang kucari kini adalah aku dan kamu yang dulu. Aku dan kamu yang pada waktu itu menjadi kita. Kita yang dulu hingga sekarang masih aku anggap ada. Aku terjebak dalam zona waktu dimana aku dan kamu selalu bersama, sampai aku tidak menyadari bahwa semua telah berubah. Telah selesai.
Kususuri jalanan ini sekali lagi. Sepasang kekasih itu kini telah pergi selama-lamanya. Kuselipkan suratku dibawah pintu rumah yang entah akan terbuka lagi atau tidak. Kuletakkan kunci dengan gantungan mawar merah dan aku pergi.
Melewati jalan lain.

-mth

Tidak ada komentar:

Posting Komentar