Visitors

Jumat, 12 Januari 2018

Bintang yang terlempar dari Surga

 “Kamu adalah surga yang tidak berani kujelajah, khayalan yang tidak sanggup aku hentikan.”

                Aku mulai menggelayuti tubuhmu yang kokoh. Menekan satu demi satu titik kesukaanmu yang dengan mudahnya kau beberkan kepadaku. Kusesapi aroma yang semakin dikenal baik oleh memori ingatanku. Semua berontak keluar, tidak terbendung. Aku menginginkanmu, lagi.
                Kamu membuat surgamu sendiri. Dengan lika-liku seirama lekuk tubuhmu, yang setiap kelokan menyimpan cerita sendiri baik masa lalumu, aku, ataupun misteri. Katamu surgamu tak begitu indah, tapi nyatanya surgamu membuatku candu. Terkekang seolah tersesat dan justru membuatku memutuskan untuk berkemah dan tidak ingin keluar. Surgamu dengan bintang malam yang semakin indah membuai aku begitu lama hingga aku lupa bahwa surgamu hanyalah buaian semata. Daun-daun disurgamu menghisap aku, begitu dalam dan kelu hingga sensasi pekat kurasakan yang begitu nikmat dan memabukkan.
                “Bagaimana jika sekali lagi kurasakan?” aku berdiri diam didepan pintu surgamu. Aku masih memegang kunci lama menuju tempat kesukaanku, namun daun pintu itu mulai berkarat. Aku ragu untuk kembali memasukkan batangan kunci kedalam lobang gembok indah yang selalu kau puji. Ah, kenikmatan itu langsung terbayang olehku ketika kau menuntunku untuk memasukkan batangan kunci di tanganku ke dalam lobang pintu surgamu. Tapi aku masih berdiri kaku, kelu, ragu, dan malu.
                Kuseret ragaku menjauh namun surgamu kembali menarikku. Telingaku terngiang bisikanmu yang begitu menggelitik gelora dadaku, menderaskan aliran darahku, meracau pikiranku membuatku terpacu dan kembali bernafsu membuka kembali surgamu yang dulu tak lekang kunikmati. Aku diam tak bergeming. Seluruh tubuhku gemetar menginginkanmu. Hatiku lemas berteriak merindukan sosokmu. Asaku mati menanti hadirmu lagi.
                “Aku ingin masuk.”kubiarkan tanganku menyentuh perlahan pintu surgamu. Sedikit dingin dari kemarin. Namun aliran itu masih ada, seperti gelora yang terpendam dan siap terpancar beringas begitu terlepas. Tanganku semakin bernafsu dan nakal menyusuri gagang pintu menuju surgamu yang tak berubah, membuatku candu lagi.
                Aku tidak tahan.
                Krekk... sedikit rintihan pintu berbunyi begitu daunnya bergesekan dengan alas dari surgamu, yang dulu sempat kukira menjadi surga kita.
                Surgamu menjadi penuh warna dari kemarin. Ada hiasan kecil terpantul mengganggu memoriku yang merekam penuh detail tata surga milikmu. Batang kunci milikku sudah hilang seiring kutahu bahwa dalam pilihanku nanti aku tidak akan memiliki kesempatan untuk menikmati surgamu dengan nafsuku dan seluruh imajinasiku.
                Aku mencarimu. Mencari debaran detakmu yang dulu berkeliaran melompat disetiap sudut surga. Yang dulu mengecup pelan bibirku dan menyalurkan sejuta emosi yang tidak sempat terluapkan dalam kisaran waktu perjumpaan antara aku dan kamu. Ataukah kamu kini sengaja bersembunyi dariku?
                Aku bergetar sekali lagi. Tubuhku menangkap sensasi ketika kita bersama bersentuhan, ketika bisikmu pelan mengijinkan aku menelusuri surgamu sebebas yang aku mau.
                “Aku terjebak. Tolong.”
                Aku mulai merintih seorang diri, berusaha menikmati sisa-sisa hadirmu ditempat yang kamu berikan untukku. Namun tempatmu semakin dingin dan kosong.
                “Sekali saja, datanglah dengan surgamu.” Pintaku lirih hampir tak terdengar.
                Aku mulai membatu merindukanmu. Memaksa tiap sel dalam tubuhku mengingat bagaimana kau membuat mereka bermetabolis tak terkontrol. Dadaku bergemuruh merindu panas nafasmu yang terpantul menderu berulangkali.
                Aku kejang. Berharap kamu datang memelukku dan membiarkan aku tenggelam dalam buah pohonmu yang ranum. Aku semakin asing dengan surgamu. Terasa hampa saat tak kurasa ada hadirmu dari surgamu.
                “Jangan bersembunyi, sekali saja muncullah. Aku merindukanmu dengan sangat. Aku tidak ingin tersesat dalam indahnya surgamu seorang diri. Tuntun aku, buat aku jatuh kedalam jurang paling dalam. Berikan aku sensasi melayang lagi seperti dahulu kamu mengajakku terbang mengarungi dunia surgamu.”
                Aku meringkuk kedinginan. Detikan waktu menertawakan aku yang dulu seolah membuatmu tak berarti.
                Samar-samar kudengar melodimu. Begitu lirih. Hilang dan timbul disela nafasku yang kubuat menderu seorang diri. Aku terbuai nikmat dengan suara lirihmu. Nyaliku mengalir deras.
                “Aku harus mencarimu.”
                Kusibak tiap helai daun yang menutupi jalan menuju hadirmu. Kucabik dengan kasar dan beringas tiap penolakan ranting untukku menghampiri hadirmu. Rantingmu berdarah. Aku mendengar suara lirihmu semakin keras.
                “Apakah kamu kesakitan? Aku tidak peduli. Aku menginginkanmu sekarang.”
                Kubuka dengan paksa sekat tebing yang seolah menghalangiku. Kupacu tiap hentakan demi kudengar suara kesakitanmu kian jelas. Bahkan jelas kurasa jika selama ini kamu masih menyembunyikan surga terbesarmu dariku.
                Hatiku pahit mengingat buaianmu, lidahku kelu merasakan alunan kata-katamu yang bergema di langit-langit bibirku saat erat kau bisikan bahwa surgamu kau berikan untukku.
                “Sakitkah kamu? Puaskah?”
                Kamu kembali mengerang hebat saat satu lagi tebing roboh dengan hentakanku yang penuh emosi. Pupilku membesar seiring kurasakan bahwa surgamu masih luas. Bahwa aku hanya mencicipi sebagian kecil di dekat pintu surgamu.
                Surgamu membuaiku semakin liar. Warna jiwamu terpancar menghiasi seluruh penjuru surgamu yang tak terbendung dengan mata telanjangku. Namun aku tidak menemukanmu disana.
                Suaramu semakin lirih dan samar. Helaan nafasmu yang sempat bersama berpacu denganku mulai teratur dan membayang. Aku bernafas seorang diri. Dadaku bergejolak naik turun.
                “Hanya ada aku seorang diri didalam surgamu. Tanpa ada dirimu.”
                Kutarik diriku keluar perlahan, tak ingin sekalipun menyisakan kenikmatan yang kau berikan. Memoriku kembali berputar. Tempat yang sering kukunjungi menjadi asing. Tak berubah, hanya sepi dan tidak ada warna seperti yang kau buat saat terlena dihadapanku.
                Surgamu indah dan tak terpecahkan.
                Kulangkahkan kakiku keluar. Separuh nafsuku masih kutinggal di balik tebing surgamu. Kurasa aku tidak sanggup menyusuri lebih dalam teka-teki surgamu yang berubah manja bak labirin yang setiap pintunya menawarkan kenikmatan yang selalu menjadi canduku.
                Pintu surgamu tertutup. Mendesah pelan seiring kudengar suaramu lirih mendesah namaku.
                Aku berdiri diam di depan pintu surgamu. Lebih kokoh dari yang terakhir kali kulihat. Seolah tidak kau ijinkan orang lain lagi memasuki surgamu yang penuh teka-teki. Aku sudah tidak memiliki batang kunci di tanganku. Surgamu kini tertutup untukku.
                Perlahan aku mulai menjauh. Berkumpul bersama penikmat-penikmat surgamu yang kini hanya bisa melihat pintu dengan kokoh dan tertutup.
                Kupancarkan sinarku lebih terang berharap dapat menembus tebalnya sekat yang kian lagi kamu buat. Tak kudapati apa-apa.
                Sinarku paling terang malam ini, dan dari sini bisa kulihat surgamu mendingin tak berpenghuni. Mati diluar, berdebu, dan terlupakan.
                Jika malam ini kurindukan surga tempatku dulu. Sinarku akan kupancar lebih terang daripada bintang yang lain. Berharap sedikit kudapati celah untuk mengintip isi surgamu yang sempat kubuat hancur dengan emosiku.
                Namun pintu surgamu masih kokoh memantulkan sinarku yang bercampur debu dalam kehampaan dan kesakitan menahan rindu.

                -mth

Tidak ada komentar:

Posting Komentar