“Kamu adalah surga yang tidak berani
kujelajah, khayalan yang tidak sanggup aku hentikan.”
Aku mulai menggelayuti tubuhmu
yang kokoh. Menekan satu demi satu titik kesukaanmu yang dengan mudahnya kau
beberkan kepadaku. Kusesapi aroma yang semakin dikenal baik oleh memori
ingatanku. Semua berontak keluar, tidak terbendung. Aku menginginkanmu, lagi.
Kamu membuat surgamu sendiri.
Dengan lika-liku seirama lekuk tubuhmu, yang setiap kelokan menyimpan cerita
sendiri baik masa lalumu, aku, ataupun misteri. Katamu surgamu tak begitu
indah, tapi nyatanya surgamu membuatku candu. Terkekang seolah tersesat dan
justru membuatku memutuskan untuk berkemah dan tidak ingin keluar. Surgamu
dengan bintang malam yang semakin indah membuai aku begitu lama hingga aku lupa
bahwa surgamu hanyalah buaian semata. Daun-daun disurgamu menghisap aku, begitu
dalam dan kelu hingga sensasi pekat kurasakan yang begitu nikmat dan
memabukkan.
“Bagaimana jika sekali lagi
kurasakan?” aku berdiri diam didepan pintu surgamu. Aku masih memegang kunci
lama menuju tempat kesukaanku, namun daun pintu itu mulai berkarat. Aku ragu
untuk kembali memasukkan batangan kunci kedalam lobang gembok indah yang selalu
kau puji. Ah, kenikmatan itu langsung terbayang olehku ketika kau menuntunku
untuk memasukkan batangan kunci di tanganku ke dalam lobang pintu surgamu. Tapi
aku masih berdiri kaku, kelu, ragu, dan malu.
Kuseret ragaku menjauh namun
surgamu kembali menarikku. Telingaku terngiang bisikanmu yang begitu
menggelitik gelora dadaku, menderaskan aliran darahku, meracau pikiranku
membuatku terpacu dan kembali bernafsu membuka kembali surgamu yang dulu tak
lekang kunikmati. Aku diam tak bergeming. Seluruh tubuhku gemetar
menginginkanmu. Hatiku lemas berteriak merindukan sosokmu. Asaku mati menanti
hadirmu lagi.
“Aku ingin masuk.”kubiarkan
tanganku menyentuh perlahan pintu surgamu. Sedikit dingin dari kemarin. Namun
aliran itu masih ada, seperti gelora yang terpendam dan siap terpancar beringas
begitu terlepas. Tanganku semakin bernafsu dan nakal menyusuri gagang pintu
menuju surgamu yang tak berubah, membuatku candu lagi.
Aku tidak tahan.
Krekk... sedikit rintihan pintu
berbunyi begitu daunnya bergesekan dengan alas dari surgamu, yang dulu sempat
kukira menjadi surga kita.
Surgamu menjadi penuh warna dari
kemarin. Ada hiasan kecil terpantul mengganggu memoriku yang merekam penuh
detail tata surga milikmu. Batang kunci milikku sudah hilang seiring kutahu
bahwa dalam pilihanku nanti aku tidak akan memiliki kesempatan untuk menikmati
surgamu dengan nafsuku dan seluruh imajinasiku.
Aku mencarimu. Mencari debaran
detakmu yang dulu berkeliaran melompat disetiap sudut surga. Yang dulu mengecup
pelan bibirku dan menyalurkan sejuta emosi yang tidak sempat terluapkan dalam
kisaran waktu perjumpaan antara aku dan kamu. Ataukah kamu kini sengaja
bersembunyi dariku?
Aku bergetar sekali lagi.
Tubuhku menangkap sensasi ketika kita bersama bersentuhan, ketika bisikmu pelan
mengijinkan aku menelusuri surgamu sebebas yang aku mau.
“Aku terjebak. Tolong.”
Aku mulai merintih seorang diri,
berusaha menikmati sisa-sisa hadirmu ditempat yang kamu berikan untukku. Namun
tempatmu semakin dingin dan kosong.
“Sekali saja, datanglah dengan
surgamu.” Pintaku lirih hampir tak terdengar.
Aku mulai membatu merindukanmu.
Memaksa tiap sel dalam tubuhku mengingat bagaimana kau membuat mereka
bermetabolis tak terkontrol. Dadaku bergemuruh merindu panas nafasmu yang
terpantul menderu berulangkali.
Aku kejang. Berharap kamu datang
memelukku dan membiarkan aku tenggelam dalam buah pohonmu yang ranum. Aku
semakin asing dengan surgamu. Terasa hampa saat tak kurasa ada hadirmu dari
surgamu.
“Jangan bersembunyi, sekali saja
muncullah. Aku merindukanmu dengan sangat. Aku tidak ingin tersesat dalam
indahnya surgamu seorang diri. Tuntun aku, buat aku jatuh kedalam jurang paling
dalam. Berikan aku sensasi melayang lagi seperti dahulu kamu mengajakku terbang
mengarungi dunia surgamu.”
Aku meringkuk kedinginan.
Detikan waktu menertawakan aku yang dulu seolah membuatmu tak berarti.
Samar-samar kudengar melodimu.
Begitu lirih. Hilang dan timbul disela nafasku yang kubuat menderu seorang
diri. Aku terbuai nikmat dengan suara lirihmu. Nyaliku mengalir deras.
“Aku harus mencarimu.”
Kusibak tiap helai daun yang
menutupi jalan menuju hadirmu. Kucabik dengan kasar dan beringas tiap penolakan
ranting untukku menghampiri hadirmu. Rantingmu berdarah. Aku mendengar suara
lirihmu semakin keras.
“Apakah kamu kesakitan? Aku
tidak peduli. Aku menginginkanmu sekarang.”
Kubuka dengan paksa sekat tebing
yang seolah menghalangiku. Kupacu tiap hentakan demi kudengar suara kesakitanmu
kian jelas. Bahkan jelas kurasa jika selama ini kamu masih menyembunyikan surga
terbesarmu dariku.
Hatiku pahit mengingat buaianmu,
lidahku kelu merasakan alunan kata-katamu yang bergema di langit-langit bibirku
saat erat kau bisikan bahwa surgamu kau berikan untukku.
“Sakitkah kamu? Puaskah?”
Kamu kembali mengerang hebat
saat satu lagi tebing roboh dengan hentakanku yang penuh emosi. Pupilku
membesar seiring kurasakan bahwa surgamu masih luas. Bahwa aku hanya mencicipi
sebagian kecil di dekat pintu surgamu.
Surgamu membuaiku semakin liar.
Warna jiwamu terpancar menghiasi seluruh penjuru surgamu yang tak terbendung
dengan mata telanjangku. Namun aku tidak menemukanmu disana.
Suaramu semakin lirih dan samar.
Helaan nafasmu yang sempat bersama berpacu denganku mulai teratur dan
membayang. Aku bernafas seorang diri. Dadaku bergejolak naik turun.
“Hanya ada aku seorang diri
didalam surgamu. Tanpa ada dirimu.”
Kutarik diriku keluar perlahan,
tak ingin sekalipun menyisakan kenikmatan yang kau berikan. Memoriku kembali
berputar. Tempat yang sering kukunjungi menjadi asing. Tak berubah, hanya sepi
dan tidak ada warna seperti yang kau buat saat terlena dihadapanku.
Surgamu indah dan tak
terpecahkan.
Kulangkahkan kakiku keluar. Separuh
nafsuku masih kutinggal di balik tebing surgamu. Kurasa aku tidak sanggup
menyusuri lebih dalam teka-teki surgamu yang berubah manja bak labirin yang
setiap pintunya menawarkan kenikmatan yang selalu menjadi canduku.
Pintu surgamu tertutup. Mendesah
pelan seiring kudengar suaramu lirih mendesah namaku.
Aku berdiri diam di depan pintu
surgamu. Lebih kokoh dari yang terakhir kali kulihat. Seolah tidak kau ijinkan
orang lain lagi memasuki surgamu yang penuh teka-teki. Aku sudah tidak memiliki
batang kunci di tanganku. Surgamu kini tertutup untukku.
Perlahan aku mulai menjauh.
Berkumpul bersama penikmat-penikmat surgamu yang kini hanya bisa melihat pintu
dengan kokoh dan tertutup.
Kupancarkan sinarku lebih terang
berharap dapat menembus tebalnya sekat yang kian lagi kamu buat. Tak kudapati
apa-apa.
Sinarku paling terang malam ini,
dan dari sini bisa kulihat surgamu mendingin tak berpenghuni. Mati diluar,
berdebu, dan terlupakan.
Jika malam ini kurindukan surga
tempatku dulu. Sinarku akan kupancar lebih terang daripada bintang yang lain.
Berharap sedikit kudapati celah untuk mengintip isi surgamu yang sempat kubuat
hancur dengan emosiku.
Namun pintu surgamu masih kokoh
memantulkan sinarku yang bercampur debu dalam kehampaan dan kesakitan menahan
rindu.
-mth
Tidak ada komentar:
Posting Komentar