“Malam
telah larut, pergilah tidur..” katamu sambil menyesap kopi hitam buatanku.
Duduk menyilangkan kaki di beranda rumahmu, sambil sesekali mengangguk
melantunkan irama musik yang hanya kamu sendiri yang tahu.
Aku
menggeleng. “Tidak aku masih ingin disini menemanimu.”
“Tak
perlu, malam ini aku ingin sendiri. Pergilah tidur, malam bukanlah tempatmu.”
“Siapa
yang akan kamu ajak bercengkerama malam ini kalau begitu?”
“Kamu
tak perlu tahu. Terimakasih untuk kopinya. Terlalu manis.”
Aku
masih memainkan jemari kakiku yang telanjang, membiarkan sebagian warna nya
memerah bergesekan dengan lantai yang sengaja kugores kasar. Menunggu kamu
untuk berubah pikiran dan akhirnya mempersilakan aku duduk menemanimu. Kulirik
kamu dari sudut mataku. Kamu tidak bergeming sama sekali. Hanya memandang ke
langit sambil sesekali bersiul lirih. Aku menyerah.
“Besok
pagi berikan hasilnya padaku..” Aku berlalu menuju tempat malamku. Meninggalkan
kamu sendiri yang dengan sengaja meminta untuk ditinggalkan.
“Sering
kukatakan, jangan berharap banyak padaku. Aku tidak memiliki apapun, demikian
juga besok.”
“Apa
aku meminta dunia padamu?” kuhentikan langkahku. Kamu masih saja tidak mengerti
dan kamu masih saja memikirkan hal yang sama sekali tidak ingin aku ungkit. “Aku
hanya meminta satu bintang dimana kamu habiskan sisa malammu tanpa aku.”
Kamu
menghela nafas dalam sekali. “Pergilah aku ingin menyesap rokok.”
Kulihat
kamu mulai mengeluarkan sekotak kecil dari kantong celanamu, mulai memantik dan
sekejap tenggelam dalam duniamu sendiri. Kutatap lekuk tubuhmu yang meringkuk
di beranda rumah, dengan secangkir kopi yang terlalu manis dan asap yang
mengepul disekeliling rongga mulutmu. Kuurungkan niatku untuk kembali ke
tempatku, pasti kubersimpuh di sampingmu.
“Dengarkan
aku.”
Sontak
kamu memandang aku, sekilas kutatap mata kesalmu karena aku yang tidak kunjung
pergi walaupun sudah kau usir.
“Sekali
saja dengarkan aku.” Kuulangi pintaku sekali lagi.
Kamu
mulai mematikan api rokokmu, menaruh cangkir kopimu dan duduk menghadap aku.
Kamu memandang mataku dengan pandangan yang berbeda dari biasanya. Aku tidak
peduli. Aku hanya ingin kamu mendengarkan aku dengan waktu sedikitmu yang
samasekali sudah tidak ada untukku.
“Terlalu
sempitkah duniamu kini? Terlalu menyesakkan kah aku ini? Sehingga sekarang aku
sama sekali tidak kamu turut sertakan dalam perjalanan kisahmu? Kalau katamu,
saat ini kamu tidak pantas karena ketidakberadaanmu pandanglah aku. Aku sudah
memutuskan untuk memusatkan seluruh pandanganku padamu. Lalu apalagi alasanmu?”
Kamu
masih diam menatapku “Ada dunia yang harus aku urus kelak.” Jawabmu memalingkan
muka.
“Sedang
aku tidak akan ada dalam dunia itu?”
“Bukan
itu mauku. Tapi aku tidak bisa memaksa, dan nyatanya esok kamu tidak akan ada
disana.”
“Lantas
dulu mengapa kamu menghangatkan rumahku yang kedinginan, jika pada akhirnya
kamu hanya menelantarkan aku dirumah yang telah kita bangun. Lalu mengapa kini
kamu dengan teganya berpayung pergi dan mulai mengoyak lahan liar untuk
membangun rumah baru dengan yang lain?”
“Bahkan
aku lupa mengapa kamu bersedia masuk.”
“Bermainkah
kamu?” mataku mulai berkaca-kaca.
“Mungkin.
Aku tidak tahu. Hanya terjadi begitu saja.” Aku menatapmu dan kamu benar-benar
mulai kesal. “Kali ini dengarkan aku.” Sorot matamu mulai tajam, menikam aku
yang sedang tidak bernafsu untuk membalasnya. “Masihkah kamu akan menyalahkan
aku? Sedang kamu sendiri yang bersedia membukakan pintu untuk aku?”
“Aku
tidak akan membukakan pintu untuk orang yang salah.” Aku membela diri.
“Lalu
menurutmu aku ini benar?” matamu memutar seolah aku ini anak kecil yang nakal. “Sejak
awal aku masuk dalam hidupmu, seharusnya kamu sudah tahu bahwa aku ini salah. Seharusnya
kamu sudah tahu sampa batas mana kamu membiarkan aku masuk. Dan setelah semua
ini, kamu dengan seenaknya menyalahkan aku.”
“Jika
kamu tahu bahwa kamu salah, mengapa kamu masih saja mengetuk untuk masuk?
Bukankah masih ada tempat diluar sana untuk yang menurutmu benar?” bela ku.
“Aku
mengetuk semua pintu. Jangan terlalu merasa jika kamu spesial. Aku disini
menikmati kopimu, bermalam dalam rumahmu. Tapi kamu harus tahu, ini tidaklah
akan lama.”
“Aku
hanya merasa kamu mulai menyakiti aku.”
Amarahmu
mulai terbakar. “Cukuplah! Hanya kamu yang membiarkan dirimu tersakiti olehku.”
Kamu membuang puntung rokok yang hanya beberapa kali kamu hisap. “Kau lihat
aku, pantaskah aku?”
“Aku
akan membantu memantaskanmu.” Jawabku lirih.
“Tidak
bisa, kamu tidak akan bisa membantuku memantaskan aku. Sedang duniamu sendiri
cukup aneh untuk kutinggali. Aku ingin berkelana, aku ingin mencari sesuatu
yang baru. Bertemu dengan bulan pengagum bintang. Nyalaku tidak akan terang
jika aku disini bersamamu.”
Aku
meringkuk tak berdaya, gemetar mendengar gelora amarahmu yang terusik dengan
kehadiranku. Sesenggukan aku membiarkan butiran air mata jatuh melewati pipiku.
“Kamu
dan aku terlahir beda..” lanjutmu lirih hampir tidak terdengar. “Sekuat apapun
kita memaksa bersama, aku dan kamu tidak akan bisa bersatu. Aku meyakini
sesuatu yang kamu tidak yakini, begitu pula kamu tidak bisa memaksa aku
meyakini apa yang selama ini tidak ingin kuketahui.”
“Kurasa
dunia yang berbeda akan saling melengkapi.”
“Bisakah
aku bersinar jika bersamamu?”
Aku
menggeleng.
“Atau
bisakah kamu membuat banyak mata terlelap jika kamu hadir dalam malam gelap?”
Aku
menggeleng sekali lagi.
“Seperti
itulah, aku akan berusaha mencari bulan dalam gelapku. Agar dengannya aku bisa
bersinar sendiri menghiasi gelapnya malam.”
“Lantas
aku?”
“Kamu
terlahir dalam terang. Bahkan tanpa aku kamu akan tetap bersinar. Duniamu dalam
terang, dan aku dalam gelap.”
“Dan
kini kamu membiarkan aku sendiri?”
“Kamu
hanya belum mengerti, masih ada banyak benda langit diluar sana yang
membutuhkanmu. Kamu bersinar terlalu terang, terlalu menyilaukan mata sehingga
kamu tidak melihat mereka yang ingin bersinar bersamamu.”
“Tidakkah
kamu mencintai aku?”
“Apapun
yang terjadi, sebesar apapun cintaku takkan membuat aku dan kamu bersatu. Ingatlah,
kita terlahir berbeda. Jika salah satu dari kita memutuskan untuk mengalah, itu
akan mengacaukan semuanya. Biarlah berjalan apa adanya. Relakan yang sudah
terjadi. Gelap tidak akan bisa bersatu dengan terang.”
“Merelakan
bukanlah hal yang mudah.”
“Berhentilah
berkorban untukku.” Pintamu “Kelak saat kamu berhenti berkorban, sinarmu akan
lebih terang dan kamu akan melupakan aku yang singgah di kegelapan.”
Aku
menyeka air mataku yang setengah kering menyisakan bekas di kedua pipiku. “Bisakah
malam ini aku menemanimu? Besok aku akan pergi dan bersinar dalam duniaku. Biar
aku melupakanmu, biar terakhir aku bisa mengingat kamu sebelum aku pergi dan
kita tidak akan pernah bertemu lagi?”
Kamu
menyunggingkan senyum tipis “Jangan singgah, jangan walaupun sekali. Biarkan
aku mengusirmu. Biarkan terlihat normal sehingga akupun tidak harus berbasuh
air mata. Biarkan mulai saat ini aku berusaha mencari terangku. Hargailah
usahaku.”
Katamu
membuat aku terbangkit, “Aku akan tidur. Besok aku harus bersinar.”
Kamu
tidak menghiraukan kata-kataku. Melamun melewati pekatnya malam yang memang
tidak bisa kuarungi.
“Dan
jika kamu sekarang berusaha, janganlah menyerah bintang. Aku yakin dalam gelap
duniamu, akan terpancar sinar paling terangmu suatu saat nanti. Aku tidak akan
bisa melihatnya, andai aku kembali justru akan menyamarkan terangmu dan membuat
semua kembali rusak. Tetaplah seperti itu bintang, sesaplah kopi pahit
kesukaanmu dan mainkan asap rokok seperti kebiasaanmu.”
Bintangku
tidak akan berubah, dia hanya akan bersinar dalam dunianya. Dunia dimana tanpa
ada aku didalamnya. Dunia yang dibangunnya dengan jerih payahnya. Dunia gelap
miliknya.
Berusahalah
bintang, kelak dalam terangku aku akan mengenangmu. Menceritakan bahwa didunia
gelap sana, ada bintang yang takkan berhenti berusaha untuk meraih sinarnya dan
menghiasi pekatnya malam.
“Selamat
tidur untukku, bintang berjagalah. Besok giliranku.” Aku berjalan pergi tanpa
menoleh kepadamu sekalipun. Seperti pintamu aku tidak akan kembali. Aku akan
bersinar dalam duniaku dan melupakanmu.
Aku
akan merindukanmu.
Matahari.
-mth