Visitors

Kamis, 11 Oktober 2018

Bintang dan Matahari


“Malam telah larut, pergilah tidur..” katamu sambil menyesap kopi hitam buatanku. Duduk menyilangkan kaki di beranda rumahmu, sambil sesekali mengangguk melantunkan irama musik yang hanya kamu sendiri yang tahu.
Aku menggeleng. “Tidak aku masih ingin disini menemanimu.”
“Tak perlu, malam ini aku ingin sendiri. Pergilah tidur, malam bukanlah tempatmu.”
“Siapa yang akan kamu ajak bercengkerama malam ini kalau begitu?”
“Kamu tak perlu tahu. Terimakasih untuk kopinya. Terlalu manis.”
Aku masih memainkan jemari kakiku yang telanjang, membiarkan sebagian warna nya memerah bergesekan dengan lantai yang sengaja kugores kasar. Menunggu kamu untuk berubah pikiran dan akhirnya mempersilakan aku duduk menemanimu. Kulirik kamu dari sudut mataku. Kamu tidak bergeming sama sekali. Hanya memandang ke langit sambil sesekali bersiul lirih. Aku menyerah.
“Besok pagi berikan hasilnya padaku..” Aku berlalu menuju tempat malamku. Meninggalkan kamu sendiri yang dengan sengaja meminta untuk ditinggalkan.
“Sering kukatakan, jangan berharap banyak padaku. Aku tidak memiliki apapun, demikian juga besok.”
“Apa aku meminta dunia padamu?” kuhentikan langkahku. Kamu masih saja tidak mengerti dan kamu masih saja memikirkan hal yang sama sekali tidak ingin aku ungkit. “Aku hanya meminta satu bintang dimana kamu habiskan sisa malammu tanpa aku.”
Kamu menghela nafas dalam sekali. “Pergilah aku ingin menyesap rokok.”
Kulihat kamu mulai mengeluarkan sekotak kecil dari kantong celanamu, mulai memantik dan sekejap tenggelam dalam duniamu sendiri. Kutatap lekuk tubuhmu yang meringkuk di beranda rumah, dengan secangkir kopi yang terlalu manis dan asap yang mengepul disekeliling rongga mulutmu. Kuurungkan niatku untuk kembali ke tempatku, pasti kubersimpuh di sampingmu.
“Dengarkan aku.”
Sontak kamu memandang aku, sekilas kutatap mata kesalmu karena aku yang tidak kunjung pergi walaupun sudah kau usir.
“Sekali saja dengarkan aku.” Kuulangi pintaku sekali lagi.
Kamu mulai mematikan api rokokmu, menaruh cangkir kopimu dan duduk menghadap aku. Kamu memandang mataku dengan pandangan yang berbeda dari biasanya. Aku tidak peduli. Aku hanya ingin kamu mendengarkan aku dengan waktu sedikitmu yang samasekali sudah tidak ada untukku.
“Terlalu sempitkah duniamu kini? Terlalu menyesakkan kah aku ini? Sehingga sekarang aku sama sekali tidak kamu turut sertakan dalam perjalanan kisahmu? Kalau katamu, saat ini kamu tidak pantas karena ketidakberadaanmu pandanglah aku. Aku sudah memutuskan untuk memusatkan seluruh pandanganku padamu. Lalu apalagi alasanmu?”
Kamu masih diam menatapku “Ada dunia yang harus aku urus kelak.” Jawabmu memalingkan muka.
“Sedang aku tidak akan ada dalam dunia itu?”
“Bukan itu mauku. Tapi aku tidak bisa memaksa, dan nyatanya esok kamu tidak akan ada disana.”
“Lantas dulu mengapa kamu menghangatkan rumahku yang kedinginan, jika pada akhirnya kamu hanya menelantarkan aku dirumah yang telah kita bangun. Lalu mengapa kini kamu dengan teganya berpayung pergi dan mulai mengoyak lahan liar untuk membangun rumah baru dengan yang lain?”
“Bahkan aku lupa mengapa kamu bersedia masuk.”
“Bermainkah kamu?” mataku mulai berkaca-kaca.
“Mungkin. Aku tidak tahu. Hanya terjadi begitu saja.” Aku menatapmu dan kamu benar-benar mulai kesal. “Kali ini dengarkan aku.” Sorot matamu mulai tajam, menikam aku yang sedang tidak bernafsu untuk membalasnya. “Masihkah kamu akan menyalahkan aku? Sedang kamu sendiri yang bersedia membukakan pintu untuk aku?”
“Aku tidak akan membukakan pintu untuk orang yang salah.” Aku membela diri.
“Lalu menurutmu aku ini benar?” matamu memutar seolah aku ini anak kecil yang nakal. “Sejak awal aku masuk dalam hidupmu, seharusnya kamu sudah tahu bahwa aku ini salah. Seharusnya kamu sudah tahu sampa batas mana kamu membiarkan aku masuk. Dan setelah semua ini, kamu dengan seenaknya menyalahkan aku.”
“Jika kamu tahu bahwa kamu salah, mengapa kamu masih saja mengetuk untuk masuk? Bukankah masih ada tempat diluar sana untuk yang menurutmu benar?” bela ku.
“Aku mengetuk semua pintu. Jangan terlalu merasa jika kamu spesial. Aku disini menikmati kopimu, bermalam dalam rumahmu. Tapi kamu harus tahu, ini tidaklah akan lama.”
“Aku hanya merasa kamu mulai menyakiti aku.”
Amarahmu mulai terbakar. “Cukuplah! Hanya kamu yang membiarkan dirimu tersakiti olehku.” Kamu membuang puntung rokok yang hanya beberapa kali kamu hisap. “Kau lihat aku, pantaskah aku?”
“Aku akan membantu memantaskanmu.” Jawabku lirih.
“Tidak bisa, kamu tidak akan bisa membantuku memantaskan aku. Sedang duniamu sendiri cukup aneh untuk kutinggali. Aku ingin berkelana, aku ingin mencari sesuatu yang baru. Bertemu dengan bulan pengagum bintang. Nyalaku tidak akan terang jika aku disini bersamamu.”
Aku meringkuk tak berdaya, gemetar mendengar gelora amarahmu yang terusik dengan kehadiranku. Sesenggukan aku membiarkan butiran air mata jatuh melewati pipiku.
“Kamu dan aku terlahir beda..” lanjutmu lirih hampir tidak terdengar. “Sekuat apapun kita memaksa bersama, aku dan kamu tidak akan bisa bersatu. Aku meyakini sesuatu yang kamu tidak yakini, begitu pula kamu tidak bisa memaksa aku meyakini apa yang selama ini tidak ingin kuketahui.”
“Kurasa dunia yang berbeda akan saling melengkapi.”
“Bisakah aku bersinar jika bersamamu?”
Aku menggeleng.
“Atau bisakah kamu membuat banyak mata terlelap jika kamu hadir dalam malam gelap?”
Aku menggeleng sekali lagi.
“Seperti itulah, aku akan berusaha mencari bulan dalam gelapku. Agar dengannya aku bisa bersinar sendiri menghiasi gelapnya malam.”
“Lantas aku?”
“Kamu terlahir dalam terang. Bahkan tanpa aku kamu akan tetap bersinar. Duniamu dalam terang, dan aku dalam gelap.”
“Dan kini kamu membiarkan aku sendiri?”
“Kamu hanya belum mengerti, masih ada banyak benda langit diluar sana yang membutuhkanmu. Kamu bersinar terlalu terang, terlalu menyilaukan mata sehingga kamu tidak melihat mereka yang ingin bersinar bersamamu.”
“Tidakkah kamu mencintai aku?”
“Apapun yang terjadi, sebesar apapun cintaku takkan membuat aku dan kamu bersatu. Ingatlah, kita terlahir berbeda. Jika salah satu dari kita memutuskan untuk mengalah, itu akan mengacaukan semuanya. Biarlah berjalan apa adanya. Relakan yang sudah terjadi. Gelap tidak akan bisa bersatu dengan terang.”
“Merelakan bukanlah hal yang mudah.”
“Berhentilah berkorban untukku.” Pintamu “Kelak saat kamu berhenti berkorban, sinarmu akan lebih terang dan kamu akan melupakan aku yang singgah di kegelapan.”
Aku menyeka air mataku yang setengah kering menyisakan bekas di kedua pipiku. “Bisakah malam ini aku menemanimu? Besok aku akan pergi dan bersinar dalam duniaku. Biar aku melupakanmu, biar terakhir aku bisa mengingat kamu sebelum aku pergi dan kita tidak akan pernah bertemu lagi?”
Kamu menyunggingkan senyum tipis “Jangan singgah, jangan walaupun sekali. Biarkan aku mengusirmu. Biarkan terlihat normal sehingga akupun tidak harus berbasuh air mata. Biarkan mulai saat ini aku berusaha mencari terangku. Hargailah usahaku.”
Katamu membuat aku terbangkit, “Aku akan tidur. Besok aku harus bersinar.”
Kamu tidak menghiraukan kata-kataku. Melamun melewati pekatnya malam yang memang tidak bisa kuarungi.
“Dan jika kamu sekarang berusaha, janganlah menyerah bintang. Aku yakin dalam gelap duniamu, akan terpancar sinar paling terangmu suatu saat nanti. Aku tidak akan bisa melihatnya, andai aku kembali justru akan menyamarkan terangmu dan membuat semua kembali rusak. Tetaplah seperti itu bintang, sesaplah kopi pahit kesukaanmu dan mainkan asap rokok seperti kebiasaanmu.”
Bintangku tidak akan berubah, dia hanya akan bersinar dalam dunianya. Dunia dimana tanpa ada aku didalamnya. Dunia yang dibangunnya dengan jerih payahnya. Dunia gelap miliknya.
Berusahalah bintang, kelak dalam terangku aku akan mengenangmu. Menceritakan bahwa didunia gelap sana, ada bintang yang takkan berhenti berusaha untuk meraih sinarnya dan menghiasi pekatnya malam.
“Selamat tidur untukku, bintang berjagalah. Besok giliranku.” Aku berjalan pergi tanpa menoleh kepadamu sekalipun. Seperti pintamu aku tidak akan kembali. Aku akan bersinar dalam duniaku dan melupakanmu.
Aku akan merindukanmu.
Matahari.
-mth


Senin, 29 Januari 2018

Senja yang Dipilih Bintang

Bintang, kuakui senja yang kini kau pilih begitu indah.
Senja itu mampu mewarnai sore sepimu setiap saat, mampu menghiasi temaramnya harimu dengan siluet yang berbaur menjadi satu irama.
Bintang, dia kah senjamu?
Begitu indah dibandingkan aku.
Kini langkah kakimu beralun seirama dengan senja, jemarimu beradu berikatan dengan sore remangnya. Kau bahagia Bintang?
Apalah aku, bukan siapa bahkan apa.
Bintang, senjamu yang kau pilih begitu hebat mampu mewarnai hari-harimu kini, bisa dengan mudahnya duduk dihadapanmu dan menyuapkan makanan untukmu.
Tidak dengan aku.
Menangiskah senjamu dulu? Hingga kini kau ulur lagi tanganmu untuk merengkuhnya?
Senja lah pilihanmu Bintang, kukatakan itu karena kini aku tidak bisa berbuat apa-apa untuk kembali merengkuhmu.
Bintang,
Aku ingin tersenyum saat kutahu kau bermandikan cahaya senja dan menari kecil disetiap sandikalanya. Aku disini tersenyum saat kusadar kau lebih bahagia dengan senja pilihanmu yang kini selalu ada menemanimu. Aku berusaha lapang saat kudapati irama langkahmu beriringan berdua saja dengan senja mu, kokohmu duduk menatap mata sendu senjamu yang merajuk manja.
Maafkan aku yang diam-diam masih mendapatimu, memikirkanmu, dan menginginkanmu.
Sekali kau dapati aku menangis, dan kau hanya tersenyum tak peduli.
Bintang, sesakit itu yang kurasakan.
Secemburu itu yang kudapati dengan senja.
Senja yang kamu pilih, Bintang.
Kini aku sadar seberapa keras aku memperjuangkan kamu, aku kalah dengan jarak dan waktu.
Senja yang kini selalu ada bersamamu, meluluhlantahkan aku.
Menghancurkan kepercayaanku kepadamu.
Memberengus kecemburuanku yang kian menjadi-jadi.
Dan katamu, sudahi saja jika aku merasa cemburu.
Bintang, aku membencimu.
Aku membenci Bintang yang berjalan berdua dengan senja tanpa peduli bagaimana perasaanku saat itu.
Dan aku semakin sakit
Saat kusadar rinduku kau balas dengan rayuanmu dengan senja indahmu.
Bintang, senjamu sungguh indah.
Membuatku malu dan pupus.
Benar katamu, aku terlalu egois.
Bahkan takkan mau kuakui aku tidak sebanding dengan senja pilihanmu saat ini.
Aku tak bernyawa,
aku rapuh,
dan kini lebur berantakan.
Bintang, aku tidak ingin membuatmu terbeban akan rasa cemburuku.
Berbahagialah dengan senja pilihanmu, berjalanlah berdua menikmati tempat-tempat yang pernah menjadi kesukaan kita dulu.
Bintang, berbahagialah.
Berbahagialah dengan senja jika memang itu pilihanmu.
Aku tidak ingin lagi menentang dan meminta.
Aku tahu sekeras apapun kupinta takkan ada peliknya bagimu untuk mengerti dan pahami.
Kau akan tetap memilih bahagiamu dengan senja yang kini menggandeng tanganmu setiap hari.
Aku tidak menyerah.
Aku hanya mulai tahu diri.
Aku tidak berarti apapun bagimu.
Aku kalah dengan pesona senja.
Bintang, kau sudah membunuh dengan belati paling sakit dalam hatiku.
Aku tidak ingin membenci senja, karena nyatanya dialah yang mampu membuat harimu lebih berwarna saat ini.
Aku tahu diri.
Bintang, senjamu indah.
Tidak sepertiku.

-mth

Senin, 22 Januari 2018

Rinduku, Bintang

Sebenarnya apakah yang kita permasalahkan?
Jarak?
Waktu?
Hati?
Atau
Kesempatan?
Masih mencuat tanya dibenakku apa gerangan yang menyekat jarak begitu jauh antara aku dan kamu. Memang kenyataannya saat ini aku dan kamu tidaklah rapuh dengan kata rindu. Waktu dimana aku merindukan kamu, bukanlah waktu tepatmu untuk mengingat-ingat semua tentang aku.
Begitu jauhkah kamu sekarang?
Hingga kini kamu dimataku, sudah bukan menjadi kamu yang dulu. Sebegitu cepatnya kah perubahan yang kamu lakukan tanpa sepengetahuanku? Tanpa menunggu siapku?
Punyakah kamu sedikit saja jawaban akan cercaan tanyaku?
Yang selalu kini kau tepis dengan ungkapan jengah akan dulu yang menjadi rutinitas kesukaan aku dan kamu.
Kita?
Begitu kokoh kini kamu membentengi deburan rinduku yang pelan mengkikis pantaimu. Kamu tutup telingamu dari seruan rasaku.
Dan kini kamu mengabaikan aku.
Aku ingin menatap matamu, kembali tenggelam dalam gelapnya pesona yang kau ciptakan disela ruang waktu sebentar milik kita. Tapi mata itu kini tertutup, kering tanpa air mata yang berbeda dengan mataku yang mulai sayu dan sembab.
Kamu menepiskan aku.
Menepiskan segala rasa yang tercipta didalam hatiku karena lakumu. Membuang aku setelah kau dekap erat hingga kurasa aku tidak memiliki pegangan lagi untuk bersandar.
Ketika aku rindu seperti ini.
Aku hanya ingin mengingatmu dengan rasaku. Ketika kuijinkan setiap pisau kembali menoreh luka lama yang kamu ciptakan kemarin, luka itu semakin besar menganga dan membusuk.
Aku tidak bermaksud memaksamu untuk mengetahui rinduku atau rasaku.
Tapi rindu ini sakit jika kau terus membalas dengan kembali membuka luka yang dulu kujahit rapat dengan susah payah.
Rinduku payah, tidak sekuat kamu dalam menolaknya.
Bahkan tidak sehebat kamu dalam membuat luka.
Jarak kah sayang? Yang membuat semua ini terjadi? Atau waktukah yang menjadi titik awal permasalahan? Mari kita lawan.
Mari kita putuskan sekat terbesar yang membuat rinduku semakin terkapar.
Tegakah kau membuatku merindu?
Hati kah sayang?
Jawab aku.
Jika memang ada hati lain yang kini kamu jaga selepas kepergianku, maka aku akan disini membeku. Biarkan jarak dan waktu tetap berjalan sebagaimana adanya. Namun tidak dengan hatiku.
Sayang jika hanya dengan jarak dan waktu sosokku pun tergantikan oleh hatimu, biarkanlah aku tetap menatapmu setiap malam dibawah sinarmu yang merona diantara ribuan bintang lainnya.
Biarkan aku disini tetap mendamba kelak sebentar saja mampu kusinggahi hatimu yang tidak pernah sekalipun menjadi milikku.
Nanti, setelah ini berakhir. Mungkin rinduku akan bosan sendirinya ketika disadarinya tidak ada balasan ataupun harapan.
Dia akan mati seiring kau abaikan dan kau pupuskan tiap tunas yang akan tumbuh.
Aku merindu begitu hebat sampai tak kutahu untuk melepaskannya.
Kamu dimana?
Hatiku begitu lelah mencari dan menunggu sosokmu.
Jarak dan waktukah sayang? Atau memang benar hati?
Kini aku berdiri ditepian mencarimu, kamu yang sengaja bersembunyi.
Aku ingin mengertimu.
Memahami posisimu.
Tapi kamu tidak mengijinkan dan mencampakkan aku.
Aku berjuang setengah mati mempertahankan kamu yang menganggapku setengah hati. Tapi tak berbalas membuatku menyadari arti dari kepergianmu.
Sayang bukan jarak dan waktu. Tapi memang kamu yang menginginkan untuk jauh.
Kamu ingin pergi dan membahagiakan hati lain, seperti hatiku dahulu.
Suatu hari nanti, jangan kau merindukan hatiku yang kini luluh lantah merindukanmu. Biarkan hati ini tenang menikmati sisa-sisa kehadiranmu di ruang yang mulai kosong dan lenggang.
Biarkanlah jika kamu memutuskan untuk menjauh dan meninggalkan aku. Jangan kau siksa dengan kehadiranmu yang berniat membuat lukaku semakin lebar.
Aku tahu kamu tidak sejahat itu, kamu hanya tidak bisa mengimbangi rasaku.
Kamu tidak mau mencicipi rinduku yang kubuat penuh untukmu.
Satu kesempatan lagi kulewatkan.
Dan aku masih merindukanmu, bintang.

-mth

Jumat, 12 Januari 2018

Bintang yang terlempar dari Surga

 “Kamu adalah surga yang tidak berani kujelajah, khayalan yang tidak sanggup aku hentikan.”

                Aku mulai menggelayuti tubuhmu yang kokoh. Menekan satu demi satu titik kesukaanmu yang dengan mudahnya kau beberkan kepadaku. Kusesapi aroma yang semakin dikenal baik oleh memori ingatanku. Semua berontak keluar, tidak terbendung. Aku menginginkanmu, lagi.
                Kamu membuat surgamu sendiri. Dengan lika-liku seirama lekuk tubuhmu, yang setiap kelokan menyimpan cerita sendiri baik masa lalumu, aku, ataupun misteri. Katamu surgamu tak begitu indah, tapi nyatanya surgamu membuatku candu. Terkekang seolah tersesat dan justru membuatku memutuskan untuk berkemah dan tidak ingin keluar. Surgamu dengan bintang malam yang semakin indah membuai aku begitu lama hingga aku lupa bahwa surgamu hanyalah buaian semata. Daun-daun disurgamu menghisap aku, begitu dalam dan kelu hingga sensasi pekat kurasakan yang begitu nikmat dan memabukkan.
                “Bagaimana jika sekali lagi kurasakan?” aku berdiri diam didepan pintu surgamu. Aku masih memegang kunci lama menuju tempat kesukaanku, namun daun pintu itu mulai berkarat. Aku ragu untuk kembali memasukkan batangan kunci kedalam lobang gembok indah yang selalu kau puji. Ah, kenikmatan itu langsung terbayang olehku ketika kau menuntunku untuk memasukkan batangan kunci di tanganku ke dalam lobang pintu surgamu. Tapi aku masih berdiri kaku, kelu, ragu, dan malu.
                Kuseret ragaku menjauh namun surgamu kembali menarikku. Telingaku terngiang bisikanmu yang begitu menggelitik gelora dadaku, menderaskan aliran darahku, meracau pikiranku membuatku terpacu dan kembali bernafsu membuka kembali surgamu yang dulu tak lekang kunikmati. Aku diam tak bergeming. Seluruh tubuhku gemetar menginginkanmu. Hatiku lemas berteriak merindukan sosokmu. Asaku mati menanti hadirmu lagi.
                “Aku ingin masuk.”kubiarkan tanganku menyentuh perlahan pintu surgamu. Sedikit dingin dari kemarin. Namun aliran itu masih ada, seperti gelora yang terpendam dan siap terpancar beringas begitu terlepas. Tanganku semakin bernafsu dan nakal menyusuri gagang pintu menuju surgamu yang tak berubah, membuatku candu lagi.
                Aku tidak tahan.
                Krekk... sedikit rintihan pintu berbunyi begitu daunnya bergesekan dengan alas dari surgamu, yang dulu sempat kukira menjadi surga kita.
                Surgamu menjadi penuh warna dari kemarin. Ada hiasan kecil terpantul mengganggu memoriku yang merekam penuh detail tata surga milikmu. Batang kunci milikku sudah hilang seiring kutahu bahwa dalam pilihanku nanti aku tidak akan memiliki kesempatan untuk menikmati surgamu dengan nafsuku dan seluruh imajinasiku.
                Aku mencarimu. Mencari debaran detakmu yang dulu berkeliaran melompat disetiap sudut surga. Yang dulu mengecup pelan bibirku dan menyalurkan sejuta emosi yang tidak sempat terluapkan dalam kisaran waktu perjumpaan antara aku dan kamu. Ataukah kamu kini sengaja bersembunyi dariku?
                Aku bergetar sekali lagi. Tubuhku menangkap sensasi ketika kita bersama bersentuhan, ketika bisikmu pelan mengijinkan aku menelusuri surgamu sebebas yang aku mau.
                “Aku terjebak. Tolong.”
                Aku mulai merintih seorang diri, berusaha menikmati sisa-sisa hadirmu ditempat yang kamu berikan untukku. Namun tempatmu semakin dingin dan kosong.
                “Sekali saja, datanglah dengan surgamu.” Pintaku lirih hampir tak terdengar.
                Aku mulai membatu merindukanmu. Memaksa tiap sel dalam tubuhku mengingat bagaimana kau membuat mereka bermetabolis tak terkontrol. Dadaku bergemuruh merindu panas nafasmu yang terpantul menderu berulangkali.
                Aku kejang. Berharap kamu datang memelukku dan membiarkan aku tenggelam dalam buah pohonmu yang ranum. Aku semakin asing dengan surgamu. Terasa hampa saat tak kurasa ada hadirmu dari surgamu.
                “Jangan bersembunyi, sekali saja muncullah. Aku merindukanmu dengan sangat. Aku tidak ingin tersesat dalam indahnya surgamu seorang diri. Tuntun aku, buat aku jatuh kedalam jurang paling dalam. Berikan aku sensasi melayang lagi seperti dahulu kamu mengajakku terbang mengarungi dunia surgamu.”
                Aku meringkuk kedinginan. Detikan waktu menertawakan aku yang dulu seolah membuatmu tak berarti.
                Samar-samar kudengar melodimu. Begitu lirih. Hilang dan timbul disela nafasku yang kubuat menderu seorang diri. Aku terbuai nikmat dengan suara lirihmu. Nyaliku mengalir deras.
                “Aku harus mencarimu.”
                Kusibak tiap helai daun yang menutupi jalan menuju hadirmu. Kucabik dengan kasar dan beringas tiap penolakan ranting untukku menghampiri hadirmu. Rantingmu berdarah. Aku mendengar suara lirihmu semakin keras.
                “Apakah kamu kesakitan? Aku tidak peduli. Aku menginginkanmu sekarang.”
                Kubuka dengan paksa sekat tebing yang seolah menghalangiku. Kupacu tiap hentakan demi kudengar suara kesakitanmu kian jelas. Bahkan jelas kurasa jika selama ini kamu masih menyembunyikan surga terbesarmu dariku.
                Hatiku pahit mengingat buaianmu, lidahku kelu merasakan alunan kata-katamu yang bergema di langit-langit bibirku saat erat kau bisikan bahwa surgamu kau berikan untukku.
                “Sakitkah kamu? Puaskah?”
                Kamu kembali mengerang hebat saat satu lagi tebing roboh dengan hentakanku yang penuh emosi. Pupilku membesar seiring kurasakan bahwa surgamu masih luas. Bahwa aku hanya mencicipi sebagian kecil di dekat pintu surgamu.
                Surgamu membuaiku semakin liar. Warna jiwamu terpancar menghiasi seluruh penjuru surgamu yang tak terbendung dengan mata telanjangku. Namun aku tidak menemukanmu disana.
                Suaramu semakin lirih dan samar. Helaan nafasmu yang sempat bersama berpacu denganku mulai teratur dan membayang. Aku bernafas seorang diri. Dadaku bergejolak naik turun.
                “Hanya ada aku seorang diri didalam surgamu. Tanpa ada dirimu.”
                Kutarik diriku keluar perlahan, tak ingin sekalipun menyisakan kenikmatan yang kau berikan. Memoriku kembali berputar. Tempat yang sering kukunjungi menjadi asing. Tak berubah, hanya sepi dan tidak ada warna seperti yang kau buat saat terlena dihadapanku.
                Surgamu indah dan tak terpecahkan.
                Kulangkahkan kakiku keluar. Separuh nafsuku masih kutinggal di balik tebing surgamu. Kurasa aku tidak sanggup menyusuri lebih dalam teka-teki surgamu yang berubah manja bak labirin yang setiap pintunya menawarkan kenikmatan yang selalu menjadi canduku.
                Pintu surgamu tertutup. Mendesah pelan seiring kudengar suaramu lirih mendesah namaku.
                Aku berdiri diam di depan pintu surgamu. Lebih kokoh dari yang terakhir kali kulihat. Seolah tidak kau ijinkan orang lain lagi memasuki surgamu yang penuh teka-teki. Aku sudah tidak memiliki batang kunci di tanganku. Surgamu kini tertutup untukku.
                Perlahan aku mulai menjauh. Berkumpul bersama penikmat-penikmat surgamu yang kini hanya bisa melihat pintu dengan kokoh dan tertutup.
                Kupancarkan sinarku lebih terang berharap dapat menembus tebalnya sekat yang kian lagi kamu buat. Tak kudapati apa-apa.
                Sinarku paling terang malam ini, dan dari sini bisa kulihat surgamu mendingin tak berpenghuni. Mati diluar, berdebu, dan terlupakan.
                Jika malam ini kurindukan surga tempatku dulu. Sinarku akan kupancar lebih terang daripada bintang yang lain. Berharap sedikit kudapati celah untuk mengintip isi surgamu yang sempat kubuat hancur dengan emosiku.
                Namun pintu surgamu masih kokoh memantulkan sinarku yang bercampur debu dalam kehampaan dan kesakitan menahan rindu.

                -mth

Jumat, 22 Desember 2017

Gadis Manis dan Kenangannya

Kepada kamu yang kini semakin jauh. Aku tidak pernah menyangka akan sejauh ini jarak antara aku dan kamu.
Dulu,
Sewaktu aku masih bisa menikmati setiap lekuk tubuhmu, selagi masih kuhafal aromamu, semasa sering kulukis senyummu dalam anganku, aku begitu menikmati sang waktu.
Aku sering memprotes pada si empunya jarum jam, mengapa jalannya sangatlah cepat?
Sedangkan aku disini begitu ingin menikmati waktu bersamamu.
Detak jam dinding mulai berpacu seiring doa yang kupanjatkan agar Dia menghentikan takdir yang semakin nyata didepan mata.
Semua temporari.
Bahkan dulu yang hadirmu begitu nyata kini mulai sirna dan tertinggal bagai bayangan maya.
Sayang,
Aku mulai menengguk kopiku setiap pagi seorang diri. Berjalan keluar toko kedai kopi yang biasa kita singgahi dan menatap nanar pengemis tua yang balas menatapku tak kalah nanarnya ketika disadarinya sudah tidak ada dirimu menggandeng tanganku. Kopiku kini kubiarkan mulai mendingin 20 menit lebih terlambat dari pagi sebelumnya. Menanti kata manismu yang memarahiku segera kuhabiskan sesapan terakhir yang kini tak terdengar lagi meskipun iringan suara radio yang mengalun sendu masih berjudulkan lagu yang sama. Bajuku mulai kotor dengan percikan kopi yang tercipta dari piringan cangkir yang kuketuk pilu dengan kuku jemariku. Ah tak apa, lagipula sudah tidak ada dirimu yang akan memberikanku mantel saat bajuku mulai tak layak untuk dipamerkan.
Aku terlambat.
Lagi.
Ini sudah kedelapan kalinya aku datang melebihi waktu yang seharusnya. Bukankah biasanya kamu akan mengantarkan aku? Namun ketidakhadiranmu yang kedelapan belum juga membuatku terbiasa akan hilangnya dirimu.
Sayang,
Dulu kopiku terasa manis. Dulu waktuku terasa cepat. Dulu jalan yang aku lewati terasa begitu singkat saat kulangkahkan kakiku beriringan denganmu.
Daun yang gugur masih saja sama. Kamu pun juga. Masih mempesona.
Kini dalam jalanku seorang diri aku merasa ketakutan. Kehilangan dirimu adalah hal yang sudah kupersiapkan sejak awal pertemuan kita, bahkan dari sebelum aku mengenal dirimu. Aku merubah segala kebiasaanku yang sudah menjadi rutinitas bersamamu menjadi hanya aku. Aku ketakutan menghadapi kenyataan bahwa aku benar-benar kehilangan dirimu.
Jalanku telah selesai, aku telah sampai.
“Tok..tok..”
Tidak ada jawaban. Rumah itu masih saja sepi seperti tak berpenghuni. Padahal masih jelas dalam ingatanku, sembilan hari yang lalu kulihat dua sejoli sedang berpelukan di teras rumah sambil tertawa dan meminum coklat panas mereka. Masih terasa jelas didalam pandanganku bahwa sepasang kekasih itu saling membalas senyum satu sama lain dan mengecup kening pasangannya sebelum mereka terlelap dalam dekapan seakan tidak ingin dilepaskannya masing-masing dari pelukannya. Ah mungkin mereka akan pulang sore ini.
Aku memutar kembali arah tujuanku. Kembali melewati jalan yang biasa kita lalui bersama. Membayangkan ada jejak kakimu mendampingi jejak kakiku yang tinggal sepasang dalam langkah kecil-kecil. Terlihat mengenaskan.
Aku melewati kedai kopi kecil diujung jalan rumah milik sepasang kekasih itu. Kuputar lagi memori ingatanku. Kuingat sepasang kekasih itu selalu duduk di meja paling pojok setiap pagi.
“Kling..” bel pintu kedai kopi berbunyi saat kubuka. Pemilik kedai menatapku aneh dan memandangku seolah sering bertemu denganku. Aku tidak tahu apa arti tatapannya yang penuh tanya. Sial. Sepasang kekasih itu tidak duduk berdua di pojok kedai kopi seperti pagi-pagi yang lalu. Aku duduk termenung di kursi dimana sang wanita kerap duduk disana sambil mengacak-acak rambut pasangannya dan memainkan alisnya sambil tersenyum manyun. Bagaimana bisa seakan kurasakan jiwa pasangan kekasih itu?
Aku berjalan keluar dari kedai kopi begitu tak kudapati sepasang kekasih yang kucari di meja pojok tempat favorit mereka. Sedikit terseok langkah kakiku saat kutemui pengemis tua yang menatapku nanar sambil tersenyum. Kubalas senyumnya.
“Ini untukmu gadis manis.” Katanya parau hampir tak bersuara.
Aku menyambut kertas kumal dan membukanya.
Hai gadis manis,
Sudah berulang kali aku melihatmu keluar dari pintu kedai kopi pagi ini.
Apa yang sedang kau cari?
Aku melihatmu kembali menyusuri jalan yang sudah sering kamu lewati sejak dulu, sambil memandang hampa di samping kananmu seolah ada sesosok yang dulu selalu mengiringmu kemanapun kamu pergi.
Dia kah yang kamu cari?
Kamu masih mengeluarkan kunci dari saku celanamu. Kunci rumahkan itu? Aku ingat dengan benar gantungan kunci bunga mawar merah yang sejak dulu selalu kamu jaga bersama seseorang. Sekali dulu kudengar itu adalah kunci masuk ke ranah bahagiamu dengan orang yang dulu selalu menggandeng tanganmu menyusuri jalan itu. Rumah itukah yang kamu tuju?
Gadis manis,
Jangan katakan kepadaku kamu masih mengunjunginya.
Sudah kesekian kali hari ini aku melihatmu duduk sendirian di bangku favoritmu. Memasang wajah sendu dan frustasi sambil mengetuk cangkir kopi dengan kasar sehingga isinya terciprat dalam bajumu yang indah hingga tidak layak untuk dipamerkan lagi. Kamu duduk sendiri tanpa seseorang yang dulu selalu duduk di seberangmu.
Dia kah yang kamu cari?
Aku melihatmu berlari kecil sambil mengatakan kamu terlambat. Kamu masih saja menangis.
Apa yang kamu salahkan soal waktu? Dia tidak bersalah. Waktu selalu tepat. Hanya saja dia yang memang sudah pergi.
Pergilah dari sini. Terima saja kenyataan bahwa kamu harus berjuang sendirian.
Gadis manisku.
Aku mulai tersedak membaca isi surat dan perlahan aku mulai menyadari, bahwa sepasang kekasih yang kucari kini adalah aku dan kamu yang dulu. Aku dan kamu yang pada waktu itu menjadi kita. Kita yang dulu hingga sekarang masih aku anggap ada. Aku terjebak dalam zona waktu dimana aku dan kamu selalu bersama, sampai aku tidak menyadari bahwa semua telah berubah. Telah selesai.
Kususuri jalanan ini sekali lagi. Sepasang kekasih itu kini telah pergi selama-lamanya. Kuselipkan suratku dibawah pintu rumah yang entah akan terbuka lagi atau tidak. Kuletakkan kunci dengan gantungan mawar merah dan aku pergi.
Melewati jalan lain.

-mth

Kamis, 14 Desember 2017

Akhirnya Kamu Memilih Pergi

Mari sayang kuceritakan lagi kisah tentangmu, yang tidak akan pernah mati di dalam tulisanku.

Kemarin kamu memutuskan untuk memilih pergi, menyerah dengan keadaan yang tidak bisa kamu dan aku tangani. Menolak untuk mempertahankan satu pilihan dan membiarkan diri terombang-ambing pada pilihan yang seharusnya mampu kamu pilih. Aku tak apa, kukira. Aku kuat didepanmu karena aku menghargai keputusan yang kamu buat untuk dirimu sendiri.
Sayang, kita sama-sama telah dewasa. Kita mampu menentukan jalan yang kita pilih walaupun pada akhirnya kita pun tahu bahwa bersama bukanlah jalan yang kita pilih. Aku menyayangkan keputusanmu untuk tetap bertahan pada ketidakpastian antara aku dan dia.
Jika aku adalah badai, biarlah aku mereda sendiri. Aku nyaman melihatmu berlayar di samudra luas yang tenang dan bahagia disana. Aku tidak ingin merusakmu dengan badai diriku sendiri, mengombang-ambingkan emosimu dengan emosiku yang tidak dapat kukontrol.
Akhirnya kamu memilih pergi.
Sulit bagiku untuk meyakinkan diriku bahwa ini benar-benar sudah berakhir. Tidak seperti yang lalu bahwa hanya butuh beberapa hari sehingga aku bisa kembali menikmati senyummu. Sayang, ini sudah berakhir. Tidak ada lagi kesempatan untuk kita berdua. Aku belum bisa menerimanya.
Aku merindukanmu.
Secepat ini.
Dan
Sesakit ini.
Aku bukanlah orang yang tahan dengan rasanya sakit hati. Aku bahkan takut untuk menghadapi waktuku tanpa kamu yang dulu selalu saja memberiku semangat disaat aku sedang peluh. Tapi benar, aku tidak berhak merubah keputusan yang kamu buat demi kita dan dia. Aku, kamu, dan wanita itu.
Kamu bilang tidak ingin melihatku menangis.
Sayang, aku tidak akan menangis. Setidaknya didepanmu.
Biarlah apa yang tertumpah dibelakangmu menjadi rahasiaku seorang diri. Biarlah aku menikmati kesedihan yang kubuat atas ekspektasiku sendiri.
Sering kukatakan kepadamu, aku tidak berani sendiri.
Tapi sayang,
Aku berani menghadapi kesedihan ini seorang diri. Aku lebih memilih menangis dalam diam daripada harus melihatmu merasa bersalah jika melukaiku. Aku terluka. Setidaknya ini pernah kurasakan dulu. Dan jika hati ini telah robek, aku dulu pernah belajar bagaimana cara menjahitnya kembali. Walaupun aku tahu waktu tidaklah cepat.
Sayang, sering kudengar kamu mengatakan mengapa waktu berjalan sangatlah cepat.
Pernahkah kau merasakan waktu yang dirasakan orang yang sedang patah hati? Bahkan satu menit pun terasa sesak untuk dijalani.
Aku merindukanmu.
Aku merindu pelukmu yang menenangkanku, aku merindu suaramu yang mampu menghela nafasku semakin dalam. Aku merindukan hadirmu disisiku.
Sadarkan aku.
Ini sudah berakhir katamu.
Bahkan usahaku untuk membuatmu kembali tidak akan berhasil.
Jika kamu membaca ini, ajaklah aku berdua denganmu. Biar kuceritakan dengan detail bagaimana perasaanku. Ajaklah aku. Akan kusanggupi.
Sebelum kita benar-benar menjadi dua mahluk asing yang tidak pernah saling mengenal dan bertingkah seolah tidak memiliki masa lalu bersama. Sebelum waktu nanti akhirnya menghapus kita dari catatan dua orang yang pernah memadu kisah. Sebelum akhirnya nanti aku merelakanmu dan menerima keputusanmu dengan baik. Sebelum aku dan kamu benar-benar selesai.
Ajaklah aku. Sekali saja.

-mth

Minggu, 10 Desember 2017

Surat untuk Bintang

Hai Bintang,
Mungkin ini sedikit basi jika masih saja kutuliskan sepucuk surat untuk kau baca disela kesibukanmu yang semakin menjadi-jadi. Tapi sempatkanlah membaca suratku ini meskipun pada akhirnya hanya kau jadikan tatakan kopi pagimu.
Tak apa.
Perkenalkan aku, penulis surat ini.
Aku adalah seseorang yang sudah lama mengagumi keberadaanmu dan hingga kini aku masih saja mengagumimu. Aku adalah orang yang tak pernah berhenti mengucap syukur pada Tuhan karena telah diciptakanNya manusia se-spesial dirimu dalam dunia ini. Aku adalah orang yang paling menyukai warna hidupmu dan berharap kelak aku mampu menambah warna dalam gradasi petualanganmu.
Aku adalah aku yang duduk menulis surat ini sambil membayangkan parasmu yang elok dengan sedikit kerutan pada dahimu. Aku adalah yang tidak pernah engkau sadari sebagai penulis cerita ini karena pada kenyataannya aku hanya mengenalmu sebagai sosok hebat yang mampu meluluh lantahkan hatiku dalam sekejap.
“Apa lagi yang kuingin kau tahu tentang aku?”
Aku adalah orang yang rela mengarungi malam seorang diri hanya demi melihat sinarmu yang makin hari semakin mempesona, bermimpi ditengah teriknya siang dan berdoa agar malam segera tiba untuk aku dapat melihatmu.
Dan malam ini, aku menulis surat ini sembari melihatmu.
Bintang.
Bintang, kamu adalah sosok hebat yang selalu kubanggakan dalam doaku dengan Tuhan. Kamu adalah salah satu alasanku betah merengek-rengek pada Tuhan agar bisa kujumpai dirimu dalam hidupku. Kamu adalah mimpiku yang selalu ingin kutemui dan tidak ingin kutinggalkan.
Kamu berarti.
Setiap lekuk garis wajahmu sempurna seperti pesanku pada Tuhan.
“Aku ragu Bintang, apakah kamu nyata?”
Kamu yang selalu tersenyum kepada siapa saja seolah bangga memamerkan deretan gigimu dan bibir mungilmu. Kamu yang selalu menyipitkan matamu dan membuat kedua alis indahmu bertaut menjadi satu. Kamu yang selalu melambaikan tanganmu dan merangkul teman-teman disekelilingmu dengan guyonan receh sekedar untuk menggelak tawa mereka.
Bintang, kamu yang membawa banyak kebahagiaan.
Kini Bintang,
Aku ingin menceritakan kisah sedihku padamu. Aku harap kamu mengerti dan memahami alasanku menulis surat ini.
Bintang, jangan lupa jika kamu adalah orang yang selalu mahir menempatkan posisi pada orang-orang yang membutuhkan nasehatmu. Sekarang aku membutuhkan itu. Aku membutuhkanmu memberikanku nasehat mengenai kamu.

Dear Bintang,
“Bintang aku mengagumimu.”
“Aku memimpikanmu.”
“Aku tidak ingin kehilangan kamu.”
“Aku ingin tetap berada disampingmu.”
“Aku m-e-n-c-i-n-t-a-i-m-u.”

Bintang, jangan pernah kamu bertanya kepadaku apa alasanku mengucapkan kata demikian. Aku tidak tahu jawabannya.
Tolong bantu aku.
Aku sudah berusaha menganggap kata-kata itu hanyalah kiasan untuk menggambarkan betapa mudahnya kamu kuterima dalam hidupku hingga akhirnya menjadi candu.
Bintang sudah kubilang jangan, tapi “mengapa” selalu menjadi kata favoritmu.
Bintang, jangan pernah sekali lagi kamu bertanya padaku mengenai alasan. Aku tidak punya alasan.
Tidak punya jika hanya satu alasan.
Bintang,
“Aku mengagumimu.”
Cukup aku mengagumimu. Bahkan tanpa akupun kamu memang bisa menjadi pribadi yang akan dikagumi banyak orang. Kamu istimewa Bintang. Kamu bahkan bisa dengan mudahnya memberikan pesonamu dan membuat banyak orang sadar akan keberadaanmu yang mengagumkan. Aku salah satu korbannya. Aku kagum dengan cara berfikirmu, aku kagum dengan caramu mengambil keputusan, aku kagum dengan sikap santaimu, aku kagum dengan sikap optimismu dan pikiran positifmu. Aku mengagumimu.
“Aku memimpikanmu.”
Sudah kubilang Bintang, inilah bagian terindahku malam-malam saat kulihat dirimu dibalik kelopak mataku yang terlelap. Kamu begitu bersinar ditengah gelapnya lautan sorot mata gelapku. Tapi Bintang, akhir-akhir ini aku benci memimpikanmu. Tidak ada lagi aku didalam mimpiku. Kenapa kamu menyertakan sosok lain dan begitu saja masuk dalam dunia mimpiku? Bintang, ini mimpiku. Aku seperti terombang-ambing dalam dunia yang tidak kumengerti, aku menjerit menangis dalam mimpiku dan bangun dengan mata basah setiap pagi. Bintang, aku rindu memimpikanmu seperti dulu.
“Aku tidak ingin kehilangan kamu.”
Aku rasa aku tidak pantas mengucapkan hal ini karena pada kenyataannya aku tidak memilikimu utuh. Tapi Bintang, kamu milikku. Aku yang menikmati sinarmu, aku yang melukis lekuk tubuhmu, aku yang memilikimu. Katakan saja aku menempatkanmu dalam angkasaku sendiri, membiarkanmu bermain-main dalam ruang imajinasiku. Mempersilakanmu mengkontrol semua isi pikiran dan mauku. Entah kamu milikku, atau justru aku milikmu. Aku tidak mau tahu. Aku hanya tidak ingin melihatmu pergi dan tersungkur seorang diri saat kehilangan kamu.
Bintang jangan pergi.
Aku masih ingin menikmati indahmu dalam hidupku. Aku benar-benar tidak ingin kehilangan kamu.
Bintang.
“Aku ingin tetap berada disampingmu.”
Aku ingin mengusap peluh sedih dan bahagiamu. Aku ingin terus melihatmu tertawa dan beradu canda denganku. Aku tidak ingin berhenti mendengar gelak tawamu yang menggelitik telingaku tiap aku mendengarnya. Aku ingin kamu tetap berada disampingku. Atau aku yang selalu ada disampingmu dimanapun kamu berada. Bintang, simpanlah aku. Sembunyikan aku namun rawatlah aku.
Aku tahu kelak tanpa aku ataupun kau sadari, saat kita belum siap dunia memaksa untuk berubah. Mau tidak mau aku dan kamu harus siap menerima keadaan. Bintang, aku dan kamu tidak bisa bersatu selamanya. Tapi aku hanya ingin tetap berada disampingmu. Kelak jangan memaksa keadaan jika pada akhirnya kita tidak bisa beriringan. Selagi sempat Bintang, aku ingin tetap berada disampingmu.
“Aku m-e-n-c-i-n-t-a-i-m-u.”
Cukup sampai disini Bintang. Aku tidak memiliki alasan untuk kata-kata ini. Bahkan aku tidak mengerti mengapa bisa kurasakan hal ini. Tapi aku senang mampu mencintaimu. Bukankah banyak orang melakukan hal yang sama padamu. Mencintaimu.
Aku tidak ingin membahas bagian terakhir. Pada nyatanya aku sendiri tidak mengerti arti dari kata-kata itu Bintang. Mungkin itu hanyalah kata yang paling tepat untuk saat ini menggambarkan seluruh isi diriku.
Bintang, suratku masih panjang. Tapi aku tahu kamu lelah dan kopimu mulai dingin. Bintang tetaplah kamu menjadi Bintangku yang selalu bersinar dan memancarkan siapa dirimu. Tetaplah jadi dirimu yang mampu membuatku terseok-seok mengejarmu dan mendambamu.
Sebelum kamu menutup surat ini dan melanjutkan harimu yang indah, aku ingin kamu tahu satu hal.
Bintang, hari ini aku sedang cemburu.
-mth